Ratusan lontarak itu dikumpulkan, ditelaah, dan dikaji oleh Matthes, kemudian diterbitkan dalam beberapa jilid buku, di antaranya Makassaarsche Chrestomathie oorspronkelijke Makassaarsche Geschriften. Buku itu diterbitkan di Amsterdam pada 1860 oleh C. A. Spin & Soon.
Hanya saja, saya tidak menayangkan secara utuh transkripsi dan terjemahan itu di dalam artikel ini. Cukuplah petikan naskah lontarak berupa sinrilik I Maddi Daeng Rimakka sebagai pemantik haru dan bangga kita kepada leluhur Turatea, sebab mereka memiliki kebiasaan berliterasi melalui lisan dan tulisan. Dengan cara itu, kisah I Maddi Daeng Rimakka tetap bisa tiba di hadapan kita pada hari ini.
Sungguh. Saya juga tidak akan membanding-bandingkan karakter penduduk Jepang yang mengagungkan tradisi leluhur mereka sembari tetap menyerap alir modernisasi. Kepedulian penduduk Jepang atas aksara dan bahasa mereka, contoh saja, sangat patut kita acungi jempol.Â
Berbanding jauh dengan kepedulian kita terhadap bahasa dan aksara kita sendiri. Orang Jepang bangga berbahasa Jepang, kita malu berbahasa Makassar, apalagi dialek Turatea. Orang Jepang bangga pada aksaranya, kita pelan-pelan lupa cara membaca aksara lontarak.
Namun, sekali lagi, bukan hal itu yang hendak saya daras.
Benarkah I Maddi Daeng Rimakka, yang namanya agung dalam kisahan, yang kisah hidupnya diabadikan dalam sinrilik--sastra lisan Makassar, yang jalan takdirnya kerap dijadikan tamsil bagaimana mempertahankan harga diri, adalah sosok yang benar-benar ada?
Jangan-jangan I Maddi Daeng Rimakka, tokoh muda dari Kerajaan Binamusekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan--yang disegani Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone, disegani pula oleh kolonial Belanda, hanyalah tokoh fiksi yang dikarang-karang untuk menggelorakan semangat orang-orang Turatea?
Itulah yang hendak saya babar. Namun, tidak dalam anggitan pertama ini.
Salam takzim, Daeng Marewa. []