Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menunggu Mampu, Menunggu Bisa

3 Februari 2023   17:17 Diperbarui: 3 Februari 2023   17:20 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memeluk diri sendiri (Foto: BBC World)

MENJELANG PETANG. Matahari sembunyi. Awan seperti tirai paling sakti bagi matahari untuk menyembunyikan diri. Saya juga begitu. Masih sembunyi. Menjauhi riuh dan menyelami sepi. Sepi masih perisai terbaik untuk menangguhkan dan menabahkan diri.

Tetapi selalu ada saja sesuatu dari luar yang, seperti tamu rahasia mengetuk dan menggedor pintu, agar saya keluar dari rengkuh sunyi. Maka tibalah saya di sini, di ruang lapang ini, di ruang ramai ini, seraya menenteng rasa bersalah dan hendak mengasongkan permintaan maaf.

Engkong Felix gara-garanya. Andaikata beliau tidak berfatwa perihal rindu, tentu saja rindu kepada jejak imaji saya, mungkin saya masih di teras rumah saja memandangi halaman dan orang-orang lalu lalang di gang depan rumah.

O, tidak. Sebenarnya saya tidak mengeram-eram amat di dalam rumah. Sesekali saya jenguk dunia luar. Lewat kanal berita atau diam-diam mengintip tulisan di Kompasiana. Melihat Ferdy Sambo membangun dalih agar jauh dari runtuh, melihat Tragedi Kanjuruhan yang korbannya tidak kunjung menemukan keadilan.

Saya melihat juga seorang pejabat negara mengirim meme tentang "anak yang mencari keadilan", melihat politikus mondar-mandir menjalin peluang agar bisa mengusung calon presiden, melihat diri sendiri yang belum juga punya daya untuk membayar segala-gala yang mesti dibayar.

Tetapi semuanya saya lakukan dari rumah. Bukan keluyuran sana sini. Lah, boro-boro keluyuran, buat bertahan agar tubuh masih disusupi gizi saja butuh energi luar biadab. Hanya saja, seperti kata Engkong Felix, rindu bisa melemahkan sekaligus menguatkan.

LIONEL ANDREAS MESSI. Tentu kalian tahu namanya. Saya kenal pesohor yang satu itu, meskipun dia sama sekali tidak mengenal saya. Tetapi bukan itu yang ingin saya katakan. Pada guratan kemunculan ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa Messi adalah "guru ketabahan dan keramahan".

Butuh banyak laga final, butuh banyak drama, butuh banyak caci maki, baru ia mampu berdiri tegak mengharumkan nama negaranya. Butuh sesal berkali-kali, butuh maju mundur dari timnas, baru ia bisa memenuhi harapannya mengangkat Piala Dunia untuk negaranya.

Tidak. Tidak. Saya tidak berharap bisa menirunya. Siapalah saya, remah nasi goreng ini, sehingga bisa mengharumkan nama negara. Bukan itu yang hendak saya kabarkan. Saya hanya ingin mengatakan, Messi punya kebesaran hati luar biasa untuk meminta maaf kepada Luis van Gaal.

Si Kutu, sapaan khas Messi, berani meminta maaf meski harus menunggu hati mampu meminta maaf. Ia mengaku telah berlaku tidak takzim kepada van Gaal. Lalu, ia meminta maaf. Kendati orang-orang mulai lupa pada apa yang ia lakukan.

MAKA IZINKAN. Saya ingin meminta maaf kepada siapa saja yang merasa saya sakiti, merasa saya lukai, merasa saya rugikan. Sungguh, tidak ada niatan secuil pun untuk menyakiti, melukai, dan merugikan.

Saya hanya masih berada pada posisi belum mampu dan belum bisa. Untuk itulah saya keluar dari gerah selimut. Moga-moga tersisa kata maaf bagi remah nasi goreng ini.

Sungguh, ingatan selalu ada. Kendati saya masih menunggu mampu. Salam takzim. []

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun