Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Suara Kartini yang Luput Kita Simak

21 April 2021   17:17 Diperbarui: 21 April 2021   17:31 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
R.A. Kartini (Gambar: Wikimedia Commons via Kompas.com)

Oh Tuhan, kadang-kadang aku berpikir supaya agama itu tidak usah ada saja.

Begitu kata ibu kita bersama, Kartini. Seabad lalu, 6 November 1899, beliau menyatakan hal itu di dalam suratnya kepada Nona Stella Zeehandelaar (1923; 21). Kartini bersuara ketika perempuan, tidak peduli bangsawan atau rakyat jelata, sangat sulit menyatakan pendapat.

Bukan hanya itu. Suara Kartini bergerak dari telinga ke hati. Suara Kartini bukan sekadar tumpah ruah unek-unek, bukan. Suara Kartini adalah buah dari pohon pemahaman yang bertahun-tahun ia tanam. Buah itu ia makan diam-diam di tengah manusia yang sibuk memburu dunia di bawah cengkaman kaum lelaki.

Bisa Anda bayangkan betapa beraninya Kartini. Jalan juang yang ia tempuh tidak sama dengan medan juang perempuan tangguh lainnya dari Nusantara, tetapi Kartini tidak melangkah di atas jalan beraspal mulus. 

Dari situ, kita bisa bersama-sama merekam kembali suara-suara yang didendangkan oleh ibu kita yang harum namanya itu. Selama ini kita hanya sibuk menyimpan raung beliau tentang bias gender, empansipasi, atau kesetaraan. Di sisi lain, kita luput merekam suara-suara yang beliau gumamkan dengan lirih.

Apa pasal sehingga Kartini berharap sebaiknya agama tidak usah ada saja? Baiklah. Mari kita sigi lagi surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar.

Want deze, die juist alle mensen tot n verenigen moest, is door alle eeuwen heen oorzaak geweest van strijd en verdeeldheid, van de bloedigste en gruwelijkste moordtonelen. 

[Karena agama, yang seharusnya menyatukan manusia, ternyata selama berabad-abad malah sudah merupakan sebab bagi perpecahan dan pertikaian yang menyebabkan pembantaian paling berdarah-darah dan keji.]

Begitu ungkap Kartini. Pemahamannya terhadap agama dan Tuhan bukan sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Ia bergerak dari masa ke masa, mengeja zaman demi zaman, lalu menyarikan pikiran yang berkelindan di dalam benaknya. 

Jika agama yang digelimuni cinta kasih hanya menyebabkan pertikaian dan perpecahan, malah memicu perang yang keji dan berdarah-darah, berarti ada sesuatu yang patut dipertanyakan. Ini yang luput dari amatan kita. Kartini mengajak kita membayangkan kemungkinan hidup tanpa agama. Bukan karena agama yang keliru, tetapi cara kita menjalankan perintah agama yang sering menjauh dari cinta.

Selama ini kita sibuk merayakan Kartini dengan kebaya dan ritual perayaan seremonial lainnya. Kita luput merekam pemikiran-pemikirannya. Kita luput mengudar gagasan-gagasannya. Kita abai pada geliat kecendekiaannya yang terus bergerak dari tahu menjadi paham.

Syukurlah masih ada di antara kita yang setia merekam jejak pikiran Kartini dalam meretas jalan bagi kesetaraan perempuan. Itu jauh lebih membahagiakan dibanding sekadar memuja Kartini sebagai mitos yang keluhurannya diritualkan setiap 21 April.

Pertanyaan menarik yang kita butuhkan sekarang: seberakah bermakna kejuangan Kartini bagi hidup kekinian kita? Persoalan hari ini bisa saja menjadi titik tolak perenungan kita. Agama misalnya, kita lihat di negeri tercinta ini belakangan kerap menjadi pemicu tikai. 

Jika menyelam lebih dalam, kita semua pasti sepakat bahwa tidak satu pun agama di muka bumi yang mengajarkan kebencian. Faktanya? Bibit kebencian atas nama agama tumbuh subur di mana-mana, bukan cuma di Indonesia. 

Jangan tuding Kartini sebagai komunis. Ajakannya kepada kita untuk membayangkan dunia tanpa agama sudah ia kumandangkan sebelum komunis lahir di dunia. Pertanyaan Kartini juga dapat kita pandang sebagai cermin: sudah seberapa beragamakah kita?

Agama adalah lumbung cinta, bukan tempat memelihara benci. Akan tetapi, lihatlah keadaan hari ini. Apakah tabiat keseharian kita, perilaku sehari-hari kita, benar-benar sudah mencerminkan sebagai umat beragama? Jika belum, seabad lampau Kartini sudah galau gara-gara hal serupa. 

Jika kita menginginkan generasi yang sehat, baik lahiriah maupun batiniah, kita seyogianya merayakan pemikiran-pemikiran Kartini. Caranya dengan meninjau ulang atau mengkaji kembali pemikiran-pemikirannya. 

Ah, jangan-jangan kita memang senang merayakan Hari Kartini dalam bentuk main kebaya-kebayaan. [] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun