Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Mengenang Chrisye: Ketika Tangan dan Kaki Berkata

30 Maret 2021   18:07 Diperbarui: 30 Maret 2021   20:41 3554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chrisye, legenda musik Indonesia (Foto: Musica Studio)

Empat belas tahun lalu, 30 Maret 2007, Chrisye pergi. Ia pergi untuk selamanya. Ia tinggalkan suara emas di telinga dan hati penggemarnya. Hari ini, petang ini, saya dengarkan salah satu lagunya. Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Di beranda, hujan mengguyur pekarangan.

Christian Rahadi. Ia lahir di Jakarta pada 16 September 1949. Pada 2019, tepat saat suara tangis Chrisye memecah senyap, Google memberikan persembahan kepadanya. Google Doodle. Musisi bersuara emas ini memang layak dikenang sepanjang masa.

Hari ini, empat belas tahun setelah kepergian Chrisye, telinga saya dimanjakan oleh suaranya. Aih, indah tiada terperi. Saya suka lagu ini, suka pada liriknya, suka pada alun nadanya, suka pada getar syahdu di balik suara penyanyinya, suka semuanya.

Ia telah mangkat, tetapi suaranya masih abadi. Telinga saya terbelai, mata saya mengeja sebuah buku. Chrisye, Sebuah Memoar Musikal. Memoar itu dianggit oleh Alberthiene Endah pada 2007. Ada gelisah menguar pada awal cerita, tetapi berakhir teduh pada akhir cerita.

"Cina, lo!"

Begitulah risakan yang mesti diterima oleh Christian Rahadi semasa belia. Ia memang peranakan Tionghoa. Ayahnya, Lauw Tek Kang alias Laurens Rahadi, wirausaha keturunan Betawi-Tionghoa. Ibunya, Khoe Hiang Eng alias Hanna Rahadi, keturunan Sunda-Tionghoa.

Masa belia Chrisye memang sarat cobaan. Ia sering menerima lemparan kerikil sepulang sekolah. Bukan karena ia bandel atau bengal, melainkan karena ia lahir sebagai peranakan Tionghoa. Ia terima dengan tabah, ia tanggung dengan tabah.

Semasa sekolah menengah, perundungan yang menimpa Chrisye belum surut. Perisakan bahkan tertancap kuat dalam alam bawah sadarnya. Makin ia tepis ingatan tentang perisakan itu, makin kuat rasa takut mencengkam hatinya.

Hingga akhirnya Chrisye menemukan obat mujarab. Bermusik. Derita batin atas perisakan kini bersua jalan sembuh. Meski begitu, menekuri dunia musik bukan jalan indah baginya. Penuh onak, penuh duri. Tiada lain lantaran ayahnya berharap Chrisye menjadi seorang insinyur.

Ia memang tertarik mendengar musik sejak masih bocah. Kala SD, ia senang menyimak piringan hitam milik ayahnya. Ia senang bersenandung mengiringi suara Bing Crosby, Dean Martin, Frank Sinatra, dan Nat King Cole.

Melihat bakat dan minat Chrisye, hati ayahnya luluh. Sekalipun sangat ingin anaknya terjun ke dunia arsitektur, sang ayah tetap mendukung bakat sang anak. Sebuah hadiah gitar bas tiba di tangan Chrisye. Hadiah dari ayahnya. Dari sana ia mulai menekuri musik sebagai basis.

Pada awal 1981, Chrisye jatuh cinta. Adalah Gusti Firoza Damayanti Noor yang menjatuhkan hati sang penyanyi bersuara emas itu. Sayang sungguh sayang, agama mereka berbeda. Setelah hari demi hari berlalu, setelah menimbang perjalanan hati, setelah mengingat beberapa kali momen merasakan krisis iman, Chrisye memilih berpindah agama. Ia masuk Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun