Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tiga Prosa Lirih tentang Kota yang Bisu, Empati yang Mati, dan Rindu yang Batu

2 Maret 2021   21:40 Diperbarui: 2 Maret 2021   22:32 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kincir angin di tanah Turatea: lengang (Foto: Genpi Jeneponto)

(Kutulis puisi ini ketika genap setahun usia pandemi korona. Orang-orang kehilangan tempat berlindung. Suara-suara berlumur cemas terdengar di mana-mana. Pemerintah masih linglung, rakyat makin bingung.

Tetapi ada yang lebih limbung: rinduku!)

Tentang Kota yang Bisu

Apa yang kaucari di kotaku? Jalan di depan rumahku seperti gereja tua yang lumpuh dikunyah sunyi. Surau yang selalu padat kini laksana padang: lapang dan lengang. Orang-orang mengunci diri. Mulut-mulut diberangus. Tangan mesti dibilas berkali-kali. Waswas mengintai setiap waktu. Kotaku bisu, kotaku mati.

Apa yang kaucari di kotaku? Matahari kehilangan hangat. Lepau senyap tanpa gurau. Langgar senyap tanpa kelakar. Kuil-kuil mengail sepi. Yang dekat, menjauh. Yang rapat, melonggar. Yang berkerumun, bubar. Yang rindu, telan ludah. Yang telanjur pergi takbisa lekas-lekas kembali. Kotaku bisu, kotaku mati.

Apa yang kaucari di kotaku? Angkot kehilangan penumpang. Kereta kehilangan sesak. Jalan-jalan bergerak menuju mati. Aku kehabisan makanan, kehabisan kesabaran, kehabisan harapan. Jauh di pusat negara, orang-orang berlomba menghabiskan anggaran. Bantuan sosial lesap ke saku sendiri. Kotaku bisu, kotaku mati.

Tentang Empati yang Mati

Apa yang kaucari di hatiku? Tidak ada apa-apa selain nyeri. Doaku hilang taji. Pada sebilah pagi yang sejuk, doaku melompat riang ke puncak harapan, tetapi tergelincir ke jurang curam. Siapa kini yang peduli tetangga, tiada. Di kotaku, orang-orang bertukar luka dari muram kaca jendela. Dari pohon kenari, sepasang burung gereja bergantian pamer kicau. Empati bisu, empati mati.

Apa yang kaucari di hatiku? Tidak ada apa-apa selain luka. Kami, warga negara yang malang ini, tidak mampu berbuat apa-apa kecuali menanggul tabah. Tiba-tiba semua orang alih profesi. Juru cela menjamur di mana-mana. Semua orang mendadak jadi ahli: ahli caci, ahli maki. Di batang turi, aku hilang akal. Empati bisu, empati mati.

Tentang Rindu yang Batu

Apa yang kaucari di mataku? Rindu dihabisi jarak. Lidah kehilangan rasa. Hidung kehilangan bau. Demam kehilangan gigil. Tulang kehilangan ngilu. Kepala kehilangan akal. Hati kehilangan tabah. Aku belum mau mati hari ini. Aku tidak ingin mati karena virus gila ini. Aku enggan mati jauh dari hangat pangkumu. Rinduku bisu. Rinduku mati. Rinduku batu.

(Kurampungkan puisi ini ketika 36.325 orang meninggalkan kerabat dan dunia fana ini gara-gara korona, ketika pemerintah mengumumkan temuan dua kasus virus korona jenis baru, ketika presiden mencabut lampiran peraturan tentang investasi miras.

Tetapi ada yang makin batu di dadaku: rinduku kepadamu!)

2 Maret 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun