Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Karena Drama Kudeta, Tanpa Sadar SBY Mengerdilkan AHY

1 Maret 2021   12:35 Diperbarui: 1 Maret 2021   12:45 1675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agus Harimurti Yudhoyono dan Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)

Setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung, setelah beliau menyatakan Partai Demokrat tidak dijual, setelah beliau menabuh canang perang melawan Moeldoko, setelah pemecatan kader Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terpaksa menggigit jari.

Mengapa begitu? Mari kita sisir kondisi faktualnya. Drama kudeta yang dilansir oleh para petinggi Partai Demokrat bermula langsung dari sepasang bibir Ketum AHY. Riak mulai bermunculan. Dari tidak menyebut nama inisiator menjadi mengungkap nama tanpa peduli praduga tak bersalah.

Imbasnya, AHY terlihat gelagapan dalam memimpin "anak buah". Asas praduga tak bersalah yang beliau sampaikan kepada publik berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan oleh kader partai di bawah komandonya. Dengan kata lain, AHY tidak dipatuhi justru oleh orang-orang yang sekarang tengah ia percaya setia kepadanya.

Patutlah AHY nelangsa setelah ayahandanya, SBY, memutuskan turun gunung dan mulai "menyanyi". Ia seperti putra mahkota yang sekadar dipajang untuk duduk manis di singgasana. Terkait karisma dan kuasa, semua masih milik ayahanda. Tanpa sadar, kelemahan AHY justru diperlihatkan terang-terangan oleh SBY.

Sebagai sosok yang tengah dipersiapkan menjadi "pemimpin", salah-salah AHY jadi "pemimpi". Itu karena campur tangan sang ayah yang terlalu dalam mengurusi hal-hal yang mestinya diurus oleh sang anak. Persoalan kudeta, gosip ada inisiator kudeta dari luar, dan nyanyian SBY tentang Moeldoko jelas menunjukkan pengerdilan kemampuan AHY dalam menakhodai partai.

Tanpa sadar, SBY sedang menunjukkan bahwa AHY belum matang memimpin partai. Beliau bagai seorang ayah yang turun tangan ketika anaknya kelabakan karena kalah tikai. Sang ayah turun ke gelanggang dan mengomeli teman tikai anaknya. Di situlah ketaksengajaan SBY mengecilkan kemampuan AHY dalam mengendalikan kemudi partai.

Bukan hanya itu. SBY juga sedang memperlihatkan kelemahan AHY, sosok yang ia harapkan akan menggantikan jejak bekennya dalam panggung politik. Beliau seolah-olah menegaskan bahwa AHY sebenarnya, ibarat pisang, matang sebelum waktunya. Desas-desus tentang pengarbitan kini terbukti karena SBY tidak dapat menahan diri.

Andaikan SBY memanggil AHY ke dalam kamar pribadi, bercakap-cakap sepenuh hati di sana, tak mengumbar suara ke mana-mana, melimpahkan strategi dan taktik menghadapi "perang semu" kepada sang anak, lalu AHY yang terjun langsung menyelesaikan masalah, maka AHY akan dilihat sebagai sosok yang layak memimpin sebuah partai besar.

Ini tidak. SBY turun tangan sendiri. Ambil corong sendiri. Menguasai panggung sendiri. Kemudian, unjuk gigi sendiri. Akibatnya, khalayak luas makin menyangsikan kesiapan, kematangan, dan kemampuan AHY untuk memimpin partai.

Pengambilalihan corong oleh SBY justru mempertunjukkan ketidakmatangan AHY di dunia politik. Pensiunan mayor itu akhirnya akan dianggap seperti "anak manja yang berlindung di ketek sang bapak". Simpati mungkin berdatangan dari kubu penyokong, tetapi antipati mungkin saja muncul dari internal partai yang tidak setuju Partai Demokrat berubah menjadi partai keluarga.

Pengambilalihan panggung juga menunjukkan ketidaksiapan AHY dalam mengendalikan dan memimpin partai. Hal itu menguat setelah pemecatan kader yang berlawanan mencuat ke publik. Seakan-akan ketegasan bisa diambil oleh pengurus partai nanti setelah SBY bernyanyi.

Jika terus demikian, AHY akan mengerdil dengan sendirinya. Bukan oleh kalangan eksternal partai, melainkan oleh "orang dalam". Malahan, oleh sosok yang selama ini menginginkan AHY terjun instan ke panggung politik. Dampaknya akan menimpa partai, terutama dalam memulung suara pada pemilu mendatang.

Dengan demikian, SBY harus berlapang dada. Mesti memberikan kemerdekaan kepada AHY untuk berinisiatif dalam memimpin partai. Jangan sampai SBY mencitrakan anak sulungnya sebagai "politikus manja yang tidak bisa lepas dari pelukan ayahnya". [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun