Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Seputar Biografi: Kenapa Harus Saya (Bag 1)

18 Februari 2021   12:39 Diperbarui: 18 Februari 2021   13:50 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PADA akhir November 2011, pada subuh yang dingin, pada kota besar yang lengang, pada ruang lapang di Monumen Nasional, saya terpaksa mengusir kantuk. Masih pukul lima. Orang-orang sibuk berlari, bersenam, dan berolahraga ringan.

Dahlan Iskan. Saya belum pernah bertemu dengan beliau. Sekali pun belum pernah. Namun, pagi itu saya mesti bertemu dengan beliau dan harus mampu meyakinkan beliau. Raja media dari Surabaya yang saat itu menempati posisi Menteri BUMN tengah bersenam.

Setelah beliau selesai, semasa keringat masih mengucur, asisten beliau mengantar kami lebih mendekat. Sang asisten memperkenalkan saya selaku penulis dan Deden Ridwan dari penerbit (Mizan Grup). Ia juga menjelaskan niat kami untuk menemui Pak Dahlan--belakangan hari saya menyapa beliau dengan sebutan Abah.

"Kenapa harus saya?" Itu pertanyaan pertama yang meluncur dari beliau. "Banyak sosok lain di negeri ini yang layak dibukukan, dibuatkan memoar, atau dituliskan kisah hidupnya."

Saya kontan menjawab, "Ada banyak inspirasi dari perjalanan hidup Bapak yang tidak dimiliki oleh orang lain. Jika Bapak mengizinkan, saya ingin menulis perjalanan hidup Bapak dengan gaya saya, pendekatan saya, dan kemasan sesuai kebiasaan saya."

Beliau tertawa sambil menyeka keringat. Dari tawanya saya simpulkan, beliau ramah. Dan, amat hangat. "Silakan ikut saya!" Kata beliau sambil berjalan. Langkahnya ringan dan cekatan. 

Saya harus menahan napas berkali-kali, melompat agar tidak tertinggal, dan ngos-ngosan. Sang asisten dan Kang Deden naik lift. Saya juga ditawari, tetapi saya ingin menjajal naik ke lantai 19 lewat tangga. Di depan saya, Pak Dahlan berjalan dengan napas kuda. Takada lelahnya. Saya, di belakang beliau, mulai merasakan lutut gemetar ketika tiba di lantai 11. Masih delapan lantai.

Keringat mengucur. Baju di bagian punggung berasa lengket ke kulit. Lutut goyah. Betis pejal. Dan, masih tiga lantai. Pucuk dicinta ulam tiba. Pak Dahlan berhenti, berbalik, tersenyum. Lalu duduk begitu saja di lantai. Ingatan saya sontak memajang sosok almarhum ayah saya.

"Anda tahu saya juga sering menulis, kan?"

Saya mengangguk. "Tahu, Pak. Saya paling suka Ganti Hati. Menyentuh!"

"Bisa saja saya tulis sendiri biografi saya," ujar Pak Dahlan sambil tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun