Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Makna "Menggebuk Islam" Versi Said Didu, Antara Kilah dan Keluh

24 Desember 2020   14:45 Diperbarui: 24 Desember 2020   17:14 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Said Didu. Beliau mantan pejabat pada salah satu kementerian di Indonesia. Usianya sudah jauh dari remaja, apalagi belia. Kita sudah dapat menabalkan beliau sebagai orang dewasa, malahan tuwir. Namun, tabiat jemari beliau sungguh jauh dari "dewasa".

Kebiasaan mencuitkan perasaan tanpa berpikir matang seolah-olah menjadi tabiat yang sudah mendarah daging bagi beliau. Pokoknya, apa yang terlintas di benak langsung dikicaukan. Tidak peduli perasaan orang lain, tidak acuh pada hati orang lain. Pendek kata, berkicau!

Dua hari lalu kicauan beliau kembali menuai cerca. Betapa tidak, beliau menyimpulkan pendapat Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari, dengan cukup nyeleneh dan nyentrik. Kicauan Pak Said di Twitter kontan disambar netizen.

Menyindir Presiden dan Menteri Agama yang Baru

"Terima kasih atas penjelasan Mas Qodari. Akhirnya kami tahu bahwa Bapak Presiden inginkan Menteri Agama untuk 'menggebuk' Islam. Sekali lagi, terima kasih."

Begitu bunyi cuitan Pak Said pada Selasa (22/12/2020) di Twitter. Cuitan yang sepintas lalu terkesan sangat tendensius. Pertama, menyimpulkan pendapat Qodari secara sekehendak hati. Kedua, menggunakan kata "kami" bagai sedang mewakili kelompok tertentu sekalipun itu hanyalah pendapatnya sendiri.

Akibat sentilan dari bari kalangan, beliau kemudian menghapus cuitan tersebut. Hanya saja, jejak digital tidak serta-merta hilang tatkala cuitan dihapus. Kadung banyak warganet yang merekam atau menyimpan cuitan itu. Tangkapan layar cuitan beliau pun gencar beredar.

Tangkap layar cuitan Said Didu di Twitter.
Tangkap layar cuitan Said Didu di Twitter.
Tampaknya beliau mulai pikun. Penunjukan menteri merupakan hak prerogatif presiden. Orang lain, siapa pun itu, boleh saja urun saran atau membisikkan nama tertentu selaku kandidat, tetapi kuasa menunjuk menteri tetap milik presiden. Perkara itu naga-naganya luput dari perhatian Pak Said.

Selaku "orang merdeka", tentulah beliau merasa bebas-bebas saja menumpahkan kekesalan. Ya, begitu hemat saya. Memang sah-sah saja mengemukakan pendapat. Bebas sebebas-bebasnya. Namun, kita mesti menyadari bahwa pendapat yang kita ajukan ke hadapan publik seyogianya dapat kita pertanggungjawabkan.

Bagaimana dengan "orang merdeka" bernama Said Didu? Entahlah.

Gagap dan Gelagapan

Setelah menuai protes tak berkesudahan, tak dinyana Pak Said menghapus cuitannya. Bukan hanya itu, beliau juga menyertakan utas permohonan maaf sekalian menyampaikan argumen yang mendasari cuitannya.

Sayang sekali, argumen yang beliau bentangkan tidak lebih dari sebatas kilah dan keluh alih-alih pertanggungjawaban pribadi. Beliau terlihat berusaha mati-matian untuk mengelak ke sana-sini. Lebih sayang lagi, elakannya tidak elegan.

Kenapa demikian? Beliau menuding netizen telah salah tafsir atas cuitannya. Beliau menuduh warganet keliru menerjemahkan makna "menggebuk Islam" dalam cuitannya. Beliau timpakan kesalahan kepada netizen alih-alih meminta maaf dengan tulus tanpa kilah dan keluh. Tidak percaya? Atyo, kita kuliti pernyataan beliau!

Pertama, menyandingkan makna "menggebuk" dengan "meluruskan secara hukum". Saya pikir, ini pongah dan pandir. Jarak antara "menggebuk" dengan "meluruskan secara hukum" terlalu jauh. Sungguh terlalu jauh.

Sekalipun kata "menggebuk" telah diapit dengan tanda petik, sebagaimana dalih Pak Said, makna kata tersebut tidak seketika berubah menjadi "meluruskan secara hukum". Jauh timur dari barat. Andaikan seluruh kamus bahasa Indonesia yang ada dikumpulkan, sangatlah mustahil kita dapati padan taut antara "menggebuk" dan "meluruskan secara hukum".

Apakah "meluruskan secara hukum" dapat dilakukan dengan cara "menggebuk"? Lebih fatal lagi, beliau menggunakan frasa "menggebuk Islam". Itu makin kebangetan. Sudah mengandung delik fitnah. Sudah menuduh yang bukan-bukan.

Dari situ terlihat betapa Pak Said dengan sadar melakukan penegasan soal siapa, kenapa, dan bagaimana. Siapa yang ingin menggebuk Islam? Menurut Pak Said, Presiden Jokowi. Bagaimana Pak Jokowi melakukannya? Menurut Pak Said, dengan menunjuk Menteri Agama yang baru.

Kenapa Pak Presiden ingin menggebuk Islam? Hanya Pak Said yang tahu. Google belum tentu tahu. Tuhan pasti tahu. Akan tetapi, apakah elok jika kesembronoan Pak Said mesti melibatkan Tuhan? Selaku khalifah di muka bumi, Pak Said mesti sadar diri dan sadar kapasitas. Saya juga mesti begitu. Ya, kalian juga sejatinya mesti begitu.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Kedua, menuduh warganet salah tafsir. Nah, ini kebangetan. Pak Said seakan-akan melempar batu lalu menyembunyikan tangan. Beliau yang keliru memilah diksi, eh, netizen yang beliau tuduh telah salah tafsir. Itu perpaduan komplet antara meledek dan mengolok-olok.

Mengapa bukan Qodari yang dicerca? Ada perbedaan makna. Qodari menjabarkan secara khusus dengan frasa "Islam tertentu", Said Didu meluaskan makna dengan secara sadar memilih frasa "menggebuk Islam". Kalau Qodari menandaskan "keras terhadap kelompok Islam tertentu", Said menegaskan lewat jalinan kata "menggebuk Islam".

Sederhananya begini. Qodari merujuk pada kelompok Islam tertentu, sedangkan Said mengacu pada Islam. Qodari menyatakan sesuatu yang bersifat khusus, sementara Said mengatakan sesuatu yang bersifat umum.

Tidak heran apabila Said kemudian meminta maaf. Itu pun telanjur kasip. Telat banget. Beliau baru meminta maaf pada keesokan harinya, Rabu (23/12/2020), setelah cuitannya viral. Dengan kata lain, penyesalan yang tertunda sehari.

Sudahlah telat, beliau sempat-sempatnya mencari kambing hitam. Alih-alih mengakui kesalahan dengan lapang dada, beliau malah memakai tameng "salah tafsir" dan mengolok-olok netizen. Itu seperti menepuk dulang hingga air di dulang muncrat ke wajahnya sendiri.

Mencari Kilah Menemu Keluh

Setelah saya sigi cuitan beliau, saya tidak menemukan kejanggalan dan kekeliruan pada tafsir netizen. Menggebuk, ya, menggebuk. Tidak bisalah kita memaksakan diri untuk mendaras makna "menggebuk" sebagai "meluruskan secara hukum".

Meminta maaf seraya mengalihkan makna kata dengan semau hati bukanlah tindakan "orang yang merdeka". Lebih-lebih lagi menghapus cuitan. Orang merdeka kok bisa menghapus cuitan sendiri. Orang merdeka itu tangguh mempertahankan pendapat, bukan terampil mencari kilah.

Selain itu, menyebut netizen telah keliru memaknai kalimat yang beliau ungkapkan, jelas-jelas melenceng jauh dari permintaan maaf yang beliau sampaikan. Meminta maaf, ya, meminta maaf saja. Tidak perlu mencari sebab atau mencari alasan. Tidak usah mencari kambing hitam.

Lah, Lebaran Kurban masih jauh.

Salam takzim, Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun