Sekalipun kata "menggebuk" telah diapit dengan tanda petik, sebagaimana dalih Pak Said, makna kata tersebut tidak seketika berubah menjadi "meluruskan secara hukum". Jauh timur dari barat. Andaikan seluruh kamus bahasa Indonesia yang ada dikumpulkan, sangatlah mustahil kita dapati padan taut antara "menggebuk" dan "meluruskan secara hukum".
Apakah "meluruskan secara hukum" dapat dilakukan dengan cara "menggebuk"? Lebih fatal lagi, beliau menggunakan frasa "menggebuk Islam". Itu makin kebangetan. Sudah mengandung delik fitnah. Sudah menuduh yang bukan-bukan.
Dari situ terlihat betapa Pak Said dengan sadar melakukan penegasan soal siapa, kenapa, dan bagaimana. Siapa yang ingin menggebuk Islam? Menurut Pak Said, Presiden Jokowi. Bagaimana Pak Jokowi melakukannya? Menurut Pak Said, dengan menunjuk Menteri Agama yang baru.
Kenapa Pak Presiden ingin menggebuk Islam? Hanya Pak Said yang tahu. Google belum tentu tahu. Tuhan pasti tahu. Akan tetapi, apakah elok jika kesembronoan Pak Said mesti melibatkan Tuhan? Selaku khalifah di muka bumi, Pak Said mesti sadar diri dan sadar kapasitas. Saya juga mesti begitu. Ya, kalian juga sejatinya mesti begitu.
Mengapa bukan Qodari yang dicerca? Ada perbedaan makna. Qodari menjabarkan secara khusus dengan frasa "Islam tertentu", Said Didu meluaskan makna dengan secara sadar memilih frasa "menggebuk Islam". Kalau Qodari menandaskan "keras terhadap kelompok Islam tertentu", Said menegaskan lewat jalinan kata "menggebuk Islam".
Sederhananya begini. Qodari merujuk pada kelompok Islam tertentu, sedangkan Said mengacu pada Islam. Qodari menyatakan sesuatu yang bersifat khusus, sementara Said mengatakan sesuatu yang bersifat umum.
Tidak heran apabila Said kemudian meminta maaf. Itu pun telanjur kasip. Telat banget. Beliau baru meminta maaf pada keesokan harinya, Rabu (23/12/2020), setelah cuitannya viral. Dengan kata lain, penyesalan yang tertunda sehari.
Sudahlah telat, beliau sempat-sempatnya mencari kambing hitam. Alih-alih mengakui kesalahan dengan lapang dada, beliau malah memakai tameng "salah tafsir" dan mengolok-olok netizen. Itu seperti menepuk dulang hingga air di dulang muncrat ke wajahnya sendiri.
Mencari Kilah Menemu Keluh
Setelah saya sigi cuitan beliau, saya tidak menemukan kejanggalan dan kekeliruan pada tafsir netizen. Menggebuk, ya, menggebuk. Tidak bisalah kita memaksakan diri untuk mendaras makna "menggebuk" sebagai "meluruskan secara hukum".
Meminta maaf seraya mengalihkan makna kata dengan semau hati bukanlah tindakan "orang yang merdeka". Lebih-lebih lagi menghapus cuitan. Orang merdeka kok bisa menghapus cuitan sendiri. Orang merdeka itu tangguh mempertahankan pendapat, bukan terampil mencari kilah.
Selain itu, menyebut netizen telah keliru memaknai kalimat yang beliau ungkapkan, jelas-jelas melenceng jauh dari permintaan maaf yang beliau sampaikan. Meminta maaf, ya, meminta maaf saja. Tidak perlu mencari sebab atau mencari alasan. Tidak usah mencari kambing hitam.
Lah, Lebaran Kurban masih jauh.
Salam takzim, Khrisna Pabichara