Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Belajar Menulis Memoar dari Sassoon dan Churchill

11 Desember 2020   22:26 Diperbarui: 12 Desember 2020   04:46 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Winston Spencer Churchill (Foto: Arsip Hulton/Getty Images)

Sebelum menjadi penulis, saya seorang pembaca yang rakus. Malahan sangat rakus. Saya mulai keranjingan membaca sejak SD. Apa saja saya baca. Dari cerita rakyat hingga resep makanan. Dari berita di koran hingga artikel di jurnal. Dari kitab suci hingga kitab Makassar kuno.

Pendek kata membaca apa saja. Akibat rakus membaca, saya terpaksa mengubur dalam-dalam hasrat menjadi kiper ternama. Sejak kelas II SMP, mata saya sudah minus 3,5. Julukan "calon kiper berbakat" akhirnya diganti oleh teman sepermainan menjadi "Lelaki dengan Kacamata Pantat Botol".

Lantaran julukan itu, saya mulai serius membaca puisi. Rak buku paman dan kenalan habis saya preteli. Buku-buku tentang teori menulis dalam bahasa Indonesia saya comot dari materi kuliah sepupu saya, Suriati Sulaiman. Perpustakaan Wilayah Sulsel pun saya jadikan taman bermain.

Suatu hari pada pertengahan Juni 1990, saat itu saya mulai duduk di bangku kelas III, seorang paman mengenalkan saya dengan Winston Spencer Churchill. Paman saya, Bukhari Muslim, tahu benar bahwa saya rakus buku.

Saya masih ingat buku itu. My Early Life. Sebuah memoar yang ditaja dengan apik oleh mantan tentara dan politisi elite. Saya tamatkan buku berbahasa Inggris itu selama enam bulan. Itu rekor buku terlama yang saya baca. Bukan apa-apa, saya membaca seraya membuka kamus.

Hari ini saya menyesali sekaligus mensyukuri kebaikan Om Bohari--sapaan saya kepada beliau. Saya menyesal karena mengembalikan buku apik itu. Mestinya saya bilang saja lupa ditaruh di mana ataudipinjam teman dan tidak kembali. Saya bersyukur karena mengembalikan buku tersebut, sebab dari situ saya paham betapa bahagianya hati pemilik buku tatkala bukunya dikembalikan.

O ya, Om Bohari pula yang melecut semangat saya untuk terus menulis puisi dan mengirim puisi itu ke koran nasional. Jadilah 1990 sebagai tahun yang membuat saya terkenal di Kecamatan Tamalatea Kabupaten Jeneponto. Seluruh pegawai pos tahu nama dan kenal muka saya.

Bahkan Camat Tamalatea saat itu, Aspar Razak, kagum setelah tahu bahwa saya punya kenalan wartawan di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Alasannya, hampir setiap minggu saya menerima surat dari redaktur. Beliau tidak tahu bahwa surat-surat itu berisi penolakan atas puisi-puisi saya. Geli, kan?

Ketika puisi pertama saya nangkring di Harian Pedoman Rakyat, koran tempat Om Bohari bekerja, guntingannya saya pajang di papan pengumuman SMP Negeri Tanetea. Om Bohari pula yang pertama menyindir saya. "Jangan sampai ini karya terakhirmu," kata beliau.

Namun, pamanda yang baik hati itu menghadiahkan buku kedua. Kali ini tidak dipinjamkan, tetapi dihadiahkan. Memoirs of a Fox-hunt Man. Karya Siegfried Sassoon. Lagi-lagi biografi. Barangkali Om Bohari sudah mencium bakat saya dalam menulis memoar sehingga buku sejenis yang beliau berikan kepada saya.

20 tahun kemudian. Seorang sahabat menantang saya. Pringadi Abdi Surya namanya. Dengan "sinis" ia berkata bahwa saya belum dan bukan siapa-siapa selama masih hanya bisa menulis puisi. Memang hingga 2010 saya sudah menulis 12 buku, tetapi semuanya buku tentang otak dan pertumbuhannya. Malah, saya belum punya antologi puisi tunggal.

Tiga minggu setelah ditantang Pringadi, 21 Maret 2010, cerpen pertama saya dimuat di Republika. Pakarena judulnya. Sejak itu cerpen-cerpen saya mulai unjuk gigih. Akan tetapi, tantangan baru muncul menjelang tutup tahun 2011. Kali ini datang dari Bamby Cahyadi. Kata sahabat saya itu, saya pasti kesulitan kalau menulis novel.

Saya laksana Cinderella yang menemukan sepatu kaca. Pada awal 2012 saya ditawari menulis biografi Dahlan Iskan--sosok pejabat yang amat merakyat. Ingatan saya mundur beberapa tahun pada masa remaja. Ingatan saya kembali pada Sassoon dan Churchill. Ingatan saya tertuju pada My Early Life dan Memoirs of a Fox-hunt Man.

Setelah menjalani riset selama satu setengah bulan dan bertapa selama sepuluh hari di sebuah hotel di kawasan Pasar Minggu, novel Sepatu Dahlan rampung saya anggit. Novel itu saya tulis selama 10 hari. Novel itu saya taja berdasarkan ingatan pada Sassoon dan Churchill. Sepatu Dahlan akhirnya terbit pada Mei 2012 dan terjual puluhan ribu dalam rentang dua minggu.

Setelah kelahiran Sepatu Dahlan, beberapa pejabat dan pengusaha mendatangi saya. Mereka meminta kisah hidup mereka dibukukan. Dari menteri hingga politisi, dari saudagar hingga guru, dari pejabat hingga rakyat biasa sudah saya abadikan ke dalam buku. Hingga hari ini telah saya gubah 11 buku memoar.

Mengapa saya senang menulis memoar? Saya punya alasan sederhana. Setiap orang punya kisah dan pengalaman hidup yang layak diagihkan kepada pembaca. Kisah hidup itu dapat menjadi pemantik inspirasi. Pengalaman hidup itu dapat menjadi cermin diri.

Pada wasana tulisan sederhana ini saya ingin menubuhkan pesan bagi diri sendiri. Pesan yang saya tuai dari petuah Churchill. Beliau menulis My Early Life selama liburan parlemen pada 1928. Selama liburan beliau bangun pondok dan buku.

"Saya mengalami bulan yang menyenangkan: membangun pondok dan menulis buku; 200 batu bata per hari dan 2.000 kata per hari." Itulah petuah Churchill yang masih tersimpan dengan apik di laptop dan benak saya. Petuah yang menghangatkan imajinasi dan memanaskan semangat saya acapkali saya tiba pada titik letih dan jemu.

Berapa kata yang Anda tulis dalam satu hari?

Salam takzim, Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun