Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menyisir Dialog dalam Cerita

4 Oktober 2020   19:03 Diperbarui: 25 Maret 2021   00:28 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku tidak pernah melihat lelaki di kota ini memakai jas berkancing perak seperti ini," kata Binar.

"Kamu sebenarnya ingin tahu mengapa kancing itu ada di sini. Bukan punya siapa, kan?"

Empat dialog di atas dibangun dari kesadaran bahwa dialog adalah sajian fakta yang digunakan oleh pencerita untuk mempertegas alur. Properti berupa kancing yang ditemukan dan dipegang oleh Binar jelas bukan pemanis dialog belaka.

Mari kita sigi. Fakta: ada kancing perak yang entah bagaimana caranya tahu-tahu berada di tangan Binar. Konflik: kenapa dan bagaimana kancing itu ada di sana. Alur: mengarah pada siapa si pemilik kancing. Tiga komponen itu saja sudah membuat dialog memikat.

Selain itu, dialog harus mampu mengatrol reaksi cemas, takut, sedih, atau bahagia di hati pembaca. Ambil contoh petikan dialog di bawah ini.

Dia berkata sambil berjalan pelan ke arahku. "Kamu tidak akan berhasil." Dia berhenti. Jaraknya semeter saja di depanku. Dalam sekali lompat ia bisa mencekik leherku. "Kamu tidak boleh menguasai warisan Ayah." Ia mendesis. Matanya, es batu. Bulu tengkukku berdiri. Tenggorokanku tercekik. "Kamu akan mati di tanganku, setelah kehabisan cara untuk meminta maaf!"

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Bayangkan kata demi kata bergerak. Bayangkan kerja sama antara narasi dan dialog membangun imaji pembaca. Bayangkan "si ia" bisa saja melompat dan mencekik "si aku", tetapi "si ia" memilih menatap "si aku". Dari situ kita pahami bahwa dialog adalah alat untuk membangun ketertarikan pembaca.

Sekarang silakan Anda cek bagaimana Anda membangun dialog? Tentu Anda bisa mengukurnya. Sastra itu ilmu. Ia bisa ditakar, diukur, dan diajarkan. Kita bisa menakar, mengukur, dan mempelajarinya. Jika kita mau, itu saja syaratnya.

Silakan bertanya lagi. Bagaimana cara saya meletakkan atribut? Jika Anda selalu menaruh keterangan di belakang dialog, Anda sedang menjalani rutinitas yang membosankan. Silakan bereksperimen. Ayo pindah tempat, jangan main di situ melulu.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Amat-amatilah contoh yang saya sajikan di atas. Sesekali pindahkan atribut ke depan. Biarkan ia mendahului dialog. Atau, taruh di tengah percakapan. Biarkan ia menjadi wadah bagi pembaca untuk mengambil jeda sekaligus mengetahui alur cerita dan mengenali karakter tokoh.

Jika dialog Anda tumpul, biasa saja, dan bergerak lamban, Anda tidak usah heran kalau cerita Anda ditinggalkan dan ditanggalkan oleh pembaca. Kalaupun pembaca terpaksa menuntaskan pembacaan, boleh jadi tidak meninggalkan kesan apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun