Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Tanpa Konjungsi, Penulis Menyiksa Diri Sendiri

24 Agustus 2020   11:26 Diperbarui: 24 Agustus 2020   22:00 3439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengetik tanpa tanpa rasa takut buntu (Foto: Kompas.com/Oik Yusuf)

Pernahkah kalian dengar kawan yang terperangah karena kepalanya disesaki ide, kemudian terpangah begitu tiba di depan laptop? Pernahkah kalian dengar teman yang terlongong-longong, bingung mau menulis apa, padahal ia merasa konsep tulisannya sudah matang?

Saya sering mendengar kisah seperti itu. Apalagi pada saat mengisi pelatihan menulis, kisah-kisah miris sedemikian yang tumpah ruah ke telinga. Sudah yakin mau mengetik ndilalah bengong di depan laptop. Rasanya semenjengkelkan gerimis. Tidak terlalu membasahi pakaian, tetapi berpotensi mengundang flu. Betapa tidak. Sedang asyik mengetik, tahu-tahu otak butek. Buntu. Rongseng. Mumet. Ruwet.

Tolong jauhkan pertanyaan seperti itu dari saya. Percuma. Saya tidak pernah mengalaminya. Boro-boro buntu, mandek di tengah jalan saja tidak pernah. Sombong? Tidak juga. Kalian iri? Jangan. Biasa saja. Jika kalian tahu rahasianya maka kalian juga bakal terhindar dari kemacetan ide, kepampatan gagasan, dan kebuntuan imajinasi.

O, kalian urung menanyakannya karena tersekap rasa gengsi? Itulah kelebihan penulis. Tinggi gengsi, padahal butuh. Hahaha. Lagi pula, tanpa kalian tanyakan pun pasti akan saya babar.

Kalau kalian bertanya mengapa saya lancar-lancar jaya ketika menulis, saya bisa memberikan puluhan bahkan ratusan jawaban. Selain penulis, saya juga pengarang. Bagi saya, mengarang ratusan jawaban sama sepelenya dengan mencongkel upil dan memeperkannya ke siku-siku meja. Ih, jorok!

Baiklah, Sobat. Salah satu dari ratusan jawaban itu akan saya tumpahkan semuanya ke dalam tulisan ini. Camkan, Bro. Jika hanya ingin menghindari kebuntuan saat menulis, saya cuma perlu menguasai konjungsi antarkalimat. 

Bisa begitu? Ya. Itu kalau sekadar menghindari macet saat menulis. Jika kalian ingin jawaban yang lebih khusyuk, saya rampungkan dulu tulisan itu di kepala atau di kertas baru saya mulai menulis. Artinya, sebuah artikel tidak akan buru-buru saya anggit sebelum jelas (1) apa yang hendak saya bahas, (2) data pengaya apa yang saya butuhkan, dan (3) sudut pandang apa yang akan saya ambil.

Dalam rimba kepenulisan, jurus di atas disebut "pratulis". Setelah tulisan (berarti konsep, bingkai, dan tilik topik) sudah kelar di kepala, menulis jauh lebih mudah dibanding membalik telapak tangan. Asalkan tidak dipaksa membalikkan telapak tangan saat mengetik. Susah. Tulisan saya tidak kelar.

Mengapa mudah? Karena saya menguasai penggunaan kata sambung alias konjungsi, khususnya konjungsi antarkalimat. Menguasai bukan hanya dalam perkara asal main taruh ke dalam kalimat, melainkan sekaligus (1) tahu cara menggunakan sesuai dengan peruntukannya, (2) mengerti kaidah penulisannya, dan (3) paham di mana saya harus meletakkannya.

Adakah aturan mengenai cara menggunakan kata sambung? Ada. Silakan nanti klik tiga tulisan saya tentang konjungsi. Klik saja, lima menit untuk menambah wawasan tidaklah lama. Jangan pelit pada diri sendiri. Nanti akan saya terakan tautannya pada ujung artikel ini.

Adakah kaidah penulisan kata sambung antarkalimat?  Ada. Tidak banyak. Ada konjungsi antarkalimat yang mesti diikuti oleh tanda koma. Silakan lihat daftar pada tabel di bawah ini.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Perhatikan, Sobat. Ada 38 konjungsi antarkalimat di dalam tabel di atas. Jika kalian fasih menakai semua konjungsi tersebut, 38 kalimat sudah pasti rampung. Mengapa? Karena kalian tidak akan ngap-ngapan saat berpindah ke kalimat baru. Kalian juga tidak akan macet atau buntu begitu saja. Kata sambungnya sudah dikuasai, kok.

Akhirnya, aku benci dirisak gara-gara Neymar menangis. Akan tetapi, aku sendiri yang sering berkoar-koar bahwa Neymar itu ngeyel. Sekalipun demikian, Neymar menangis gara-gara kalah di laga final tidak ada hubungannya denganku. Tambahan pula, aku tidak secengeng itu andaikan aku mengalami hal serupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun