Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Cinta Butuh Cemburu, Kalimat Butuh Konjungsi

28 Juli 2020   15:02 Diperbarui: 31 Juli 2020   15:02 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Khrisna Pabichara

Kehadiran konjungsi koordinatif di dalam kalimat sangatlah vital. Persis seperti keberadaan cemburu dalam satu hubungan cinta. Cemburu dalam porsi yang pas akan menjadi pemulus, sedangkan dalam takar yang berlebihan dapat menjadi pemutus.

Sobat, akhirnya kita tiba pada sekuel ketiga. Saya memohon maaf karena telat sehari dari semestinya. Mudah-mudahan kalian tidak marah, kesal, atau dongkol. Apalagi sampai banting ponsel. Jangan, ya. Lebih baik banting saja masa lalu yang kelam. 

Kali ini kita akan membincangkan seluk-beluk konjungsi koordinatif. Supaya lebih afdal, sebaiknya kalian siapkan minuman dan camilan. Biar otak kenyang sekalian perut senang.

Bagi yang suka teh atau kopi, silakan seduh sekarang. Bagi yang suka harapan palsu, sebaiknya berhenti melamun. Berharap banyak memang sah, tetapi terlalu berharap dapat menyakiti diri sendiri. Maaf, itu sekadar intermezo.

O ya, pada dua sekuel sebelumnya telah kita ulas tentang pengaruh konjungsi atas keterbacaan dan keberterimaan tulisan. Sekarang kita akan menyisir pernak-pernik konjungsi koordinatif. Kita akan susuri manfaat konjungsi kordinatif, apa saja jenisnya, serta kapan dan bagaimana kita menggunakannya.

Begini, Sobat. Gagasan yang brilian kian bermakna jika disuguhkan dengan apik, seperti sajian makanan yang diracik amat sempurna. Ide yang keren akan makin berarti apabila dihidangkan secara elegan ke hadapan sidang pembaca.

Jika kalimat kita tata seperti jalan raya yang berlubang dan berbatu, hal itu berarti kita sedang menyiksa orang lain. Pembaca bakal tersendat-sendat dan tersengal-sengal. Alih-alih lancar mencerap gagasan, pembaca malah megap-megap menahan kesal. Tulisan usai dibaca, tetapi makna tidak kunjung meresap.

Ilustrasi: Khrisna Pabichara
Ilustrasi: Khrisna Pabichara

Kita Pasti Butuh Konjungsi Koordinatif

Sebenarnya artikel ini semacam "teori recehan". Namanya juga teori recehan, disusun sekali duduk saja. Meski begitu, artikel ini saya taja dan agihkan kepada Anda dengan harapan menjadi semacam makanan bergizi yang, semoga, dapat mengayakan wawasan Anda.

Ketika menyusun kalimat, Sobat, mau tidak mau kalian harus merekat atau merakit kata demi kata. Coba simak kalimat di bawah ini. 

(1) Kamu boleh pergi. Pekerjaan utamamu sudah selesai. 

(2) Kamu boleh pergi kalau pekerjaan utamamu sudah selesai. 

Contoh kalimat (1) membuat kita terbata pada saat mengejanya karena tidak menggunakan kata sambung. Bandingkan dengan kalimat (2) yang menggunakan konjungsi "kalau" untuk merakit dan menghubungkan dua klausa itu. Hasilnya apik. Selain enak dibaca, makna kalimat juga lebih mudah kita cerna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun