Kepalaku kembali dirubungi tanda tanya. Seperti biasa, kamu selalu tahu alur galauku. "Apa sebab nama penderita disembunyikan?" Aku menggeleng. Kamu meringis, "Mereka bukan terdakwa yang mesti dibentengi dengan praduga tak bersalah. Mungkin saja mereka pernah menekan tombol lift yang setengah jam kemudian kita tekan."
Aku senang kamu selalu tahu alir gundahku. Di batok kepalaku, Puisi meronta. Tidak, aku tidak mau berkata apa-apa. Setahuku, kadang ada saja lembaga negara yang tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan atau melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Tidak sedikit pula pejabat negara yang kehabisan tulang air mata.Â
Tiba-tiba puisi keluar dari persembunyian. Ia merunguk sambil meracau: tulang air mata!
(Hingga puisi ini selesai, kita masih diterungku kecemasan di rumah. Tujuh ratusan warga Indonesia sedang bertarung melawan korona. Ratusan juta warga Indonesia berperang melawan bingung. Maka Puisi ikut berduka: biarkan tulang air mata terus bekerja.)
Ronggacemas, 2020