Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Hoaks Risalah Kabinet Baru Jokowi dan Keindonesiaan Kita

17 Juli 2019   09:12 Diperbarui: 17 Juli 2019   13:20 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesian President Joko Widodo, front row center, and his deputy Jusuf Kalla, front row second right, pose for photographers with the newly appointed cabinet ministers after their the inauguration ceremony at the presidential palace in Jakarta, Indonesia, Monday, Oct. 27, 2014. (AP Photo/Dita Alangkara)

Dengan demikian, risalah tersebut tidak perlu ditanggapi reaktif. Baik oleh pendukung Pak Jokowi maupun barisan pembenci beliau. Tidak perlu analisis multifaktor, multiaspek, dan multiperspektif untuk menyikapi risalah itu. Cukup dengan pandangan yang sederhana dan linier.

Anggap saja risalah itu seperti kelakar yang tidak lucu. Atau, semacam aksi orang kurang kerjaan yang tengah menyibukkan diri agar tidak dicekik oleh rasa kesepiannya sendiri. Singkat kata, santai saja. Semakin ditanggapi serius semakin senang hati si perancang hoaks. 

Di sisi lain, nama-nama yang tertera di dalam risalah tersebut ikut terpapar risi. Tidak semua orang suka namanya dipajang-pajang atau disodor-sodorkan. Meski begitu, penting pula memberi catatan kritis atas risalah hoaks tersebut, lebih-lebih manakala akhir-akhir ini gelombang ketaksukaan, baik kepada Jokowi maupun Prabowo, mencuat ke permukaan.

Keindonesiaan Kita 
Patut diingat, kampanye hitam yang menunjukkan sikap pesimistis terhadap bangsa kita berlangsung sangat lama. Retorika yang menggaung justru kata-kata yang melemahkan dan melelahkan: Indonesia bubar, ancaman radikalisme, hasrat referendum, hingga Indonesia dikangkangi oleh asing dan aseng. 

Dampaknya dahsyat. Pemikiran kritis sebagian di antara kita kiab menipis. Semua perkara ditelan mentah-mentah sekalipun kita sangsi apakah perkara itu benar atau keliru. Doktrin dan dogma kelompok dianggap selalu benar, lantas buru-buru menutup diri atas kebenaran dari kelompok seberang.

Celakanya, kebenaran subjektif itu acapkali dikumandangkan atas nama keyakinan agama. Maka muncullah "kami selalu benar" atau "yang lain pasti salah". Ajaibnya, orang-orang yang terbiasa berpikir kritis, yang sudah banyak "makan bangku sekolah", dan yang kerap mengecap diri berpikiran modern, justru ikut-ikutan taklid buta.

Kebenaran subjektif yang dibangun di atas fondasi prasangka akhirnya dipercayai secara mutlak. Jadilah taklid buta. Opini nyinyir dan apriori nyenyeh dijadikan penghias kebenaran subjektif itu. Dan, atapnya dikonstruksi dari data bias yang tafsirnya disetir atau disitir sesuai kepentingan.

Sementara itu, pengaruh kebenaran objektif sangat lemah karena dikalahkan oleh argumen emosional dan kepercayaan personal. Akibatnya fatal. Virus pembodohan merajalela. Masyarakat dengan mudah terpapar hoaks. Hujatan berhamburan di ruang publik, makian berserakan di media sosial.

Maka dari itu, semangat kebangsaan kita harus ditinjau ulang. Semua pihak mesti tafakur dan bermuhasabah, mengambil cermin dan menyelam ke dalam hati, kemudian mempertanyakan apakah kita masih sudi mempertahankan keindonesiaan kita atau kita ingin melihat Indonesia terjun bebas ke jurang kehancuran.

Jika dalam laku muhasabah itu kita masih yakin akan keindonesiaan kita, mari berhenti menebar dan menyebar kabar miring, gosip murahan, atau hoaks. Kita hentikan segala-gala yang dapat mencabik-cabik keindonesiaan kita.

Politik Cara Manusia
Menilik dampak akibat sebaran masif risalah bodong tersebut, terutama jika dipautkan dengan keindonesiaan kita, maka si perancang risalah dapat dinilai sudah menghalalkan segala cara. Pada bab XVIII dalam "Il Principe", Machiavelli menulis seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun