Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Balada Celana Jin Kaesang

3 Juni 2019   00:00 Diperbarui: 3 Juni 2019   05:05 14434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaesang Pangarep melayat di Masjid KBRI Singapura | Foto: Antara/M.N. Kanwa

Apabila kita bertumpu pada rumusan cinta ala Fromm, cibiran atas celana jin Kaesang tidak perlu terjadi. Kenapa? Tidak sedikit orang yang bercelana jin ketika melayat. 

Bukan hanya Kaesang yang melakukannya. Jangankan celana jin, seorang elite politik pernah melayat dengan kaus dan celana lari. Pakai kaus kaki pula. Ajaibnya, sang elite itu tidak dikeroyok pasukan penyinyir yang beramai-ramai menghujat Kaesang.

Ingat, konteksnya pada busana.

Media Sosial dan Emosi Negatif
Cinta bisa memicu rasa damai, sedangkan benci dapat memacu sakit hati. Uniknya, banyak di antara kita yang gigih memilih benci. Lebih unik lagi, kebencian itu diumbar di media sosial dan menjadi santapan khalayak. 

Pasukan penebar kebencian itu lupa bahwa ada "sial" dalam "media sosial".

Mustahil gairah nyinyir muncul tanpa stimulus benci. Dari sumur benci akan memancur emosi negatif. Luapannya berupa rasa marah, kesal, curiga, hingga caci maki. Patut dicamkan, emosi negatif sangat mudah tersulut. Rangsangan secuil saja bisa meluapkan benci dan melupakan cinta. Mata gelap, hati buta. Akal buram, budi suram.

Ketika luapan dari sumur benci itu melanda media sosial, surutlah segala kebaikan. Hal baik saja dinyinyiri, apalagi hal buruk. Kebencian lantas meluas melebihi ganasnya penyakit menular, merembet ke benak orang sekaum, merembes ke sanubari, lantas merambat ke mana-mana.

Jika sudah begitu, media sosial menjadi senjata sempurna dalam menebar kebencian. Jika sudah begitu, "media sosial" berubah menjadi "media sial". Semburan emosi negatif itu serta-merta merambah ranah publik dan memengaruhi khalayak. Yang tidak sepakat pasti menyanggah, yang sepakat pasti menambah-nambah. Iklim psikologis seketika memburuk. Itulah sialnya.

Fasilitas berkomentar di media sosial memudahkan pembenci untuk mengumbar kemarahan. Semua diumbar tanpa mengindahkan etika. Sopan terlupakan, santun terabaikan. Alhasil, panggung pertunjukan dikuasai oleh kaum nircinta. Kaum yang sudah kehilangan saringan.

Pada sisi lain, emosi negatif dapat memengaruhi kondisi hati. Jika kebencian ditanggapi dengan cara serupa, cuaca komunikasi dipenuhi polusi marah. Bangunan kesadaran sosial dirobohkan secara kolektif dan masif. Akibatnya fatal karena dapat menyumbat saluran gagasan kreatif.

Sinisme dan Saluran Kritik
Demokrasi memang memastikan kebebasan berpendapat, termasuk di ruang terbuka yang kita namai media sosial. Namun, kebebasan seyogianya tidak diubah menjadi kebablasan. Kebebasan mestinya dijadikan modal besar untuk menggerakkan upaya perbaikan, bukan perusakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun