Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fadli Zon, Peluru Tajam, dan Provokasi

23 Mei 2019   22:10 Diperbarui: 24 Mei 2019   01:30 3720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fadli Zon dan Neno Warisman. | Foto: kumparan

"Apa yang saudara lakukan sesuai dengan konstitusi. Karena itu tidak boleh dilakukan kekerasan, tidak boleh ada provokasi!" 

Begitu seruan politikus Partai Gerindra, Fadli Zon, di hadapan massa yang sedang mengerubungi gedung Bawaslu. Berbalut jaket loreng dan kemeja biru, dikutip Kumparan, Fadli Zon mengimbau para demonstran dengan penuh rasa percaya diri. 

Imbauan Fadli tersebut sangat berarti di tengah suasana setelah pilpres yang amat mencekam. Inti seruannya ada dua. Pertama, tidak boleh ada kekerasan. Kedua, tidak boleh ada provokasi. Dengan demikian, pengunjuk rasa boleh menyampaikan aspirasi selama tidak ada kekerasan dan provokasi.

Beberapa hari sebelumnya, seorang pemuda berkoar ingin memenggal kepala Pak Jokowi. Lokasinya sama, di depan Bawaslu. Tuntutannya serupa, menolak hasil pilpres yang "mereka tengarai" curang. Jelas koar-koar itu mengandung unsur kekerasan dan provokasi.

Barangkali Fadli tidak ingin hal serupa kembali terjadi. Demonstrasi damai satu-satunya pilihan. Demonstrasi damai bisa buyar jika ada pihak yang memprovokasi massa. Kekerasan bisa terjadi kalau massa tersulut. Mungkin Fadli tidak ingin ada korban yang jatuh, baik dari pihak demonstran maupun polisi.

Sayang sekali, imbauan itu tidak moncer. Seruan tersebut masuk di kuping kanan langsung keluar di kuping kiri. Kekerasan tetap ada, provokasi tetap terjadi. Bahkan, ujung-ujungnya rusuh sampai ada korban yang jatuh.

Maklumat Fadli bagai ayam tanpa taji. Tidak diindahkan, tidak diacuhkan. Fasilitas umum rusak di beberapa titik. Bahkan tersiar kabar perusuh menjarah dagangan wong cilik. Kerugian korban yang jualannya digasak perusuh mencapai puluhan juta.

Mengapa seruan Fadli tidak ditanggapi oleh massa? Itu pertanyaan receh. Tidak mudah mengelola massa yang api benci di hatinya sudah disulut selama berbulan-bulan. Tidak gampang mengatur massa yang bara sirik di hatinya sudah disulut selama berbulan-bulan. Dan, salah seorang penyulutnya justru Fadli sendiri.

Sederhananya begini. Dalam hal provokasi, Fadli termasuk biang. Jarinya jago, lidahnya lincah. Hasutannya kadang lebih tajam daripada peluru. Jika kita mau berpikir jernih, salah satu sebab kenapa massa mendatangi Bawaslu merupakan akibat dari provokasi Fadli dan gerombolannya.

Andai kata Pak Prabowo, termasuk orang-orang di sekitarnya, tidak terburu-buru mendeklarasikan kemenangan, mungkin saja unjuk rasa tidak bakal terjadi. 

Sekiranya kampanye "KPU curang" tidak digaungkan, besar kemungkinan tidak ada demonstrasi. Andai saja kubu Kertanegara tidak rajin membakar emosi pendukung, ricuh di kawasan Tanah Abang tidak akan terjadi.

Bolehlah Fadli dan rekannya bersikukuh bahwa memang ada kecurangan. Itu sah, kok. Namun, buktikan kecurangan itu. Ajukan tuntutan atau gugatan ke MK seperti seruan Pak Prabowo. Jangan suara sampai serak gara-gara meneriakkan curang, tetapi tidak bisa membuktikan kecurangan itu. 

Lebih lucu lagi, meminta supaya pasangan Jokowi-Amin didiskualifikasi. Pilpres itu ada aturannya. Fadli dan geng ada di balik penyusunan dan pengesahan aturan tersebut. Susun sendiri, langgar sendiri. Ini bentuk provokasi ajaib yang menggelikan. 

Selain itu, sentimen agama dijadikan bensin untuk menjawil simpatisan. Apa-apa takbir, sedikit-sedikit takbir. 

Materi kampanye hitam pun tidak jauh dari agama. Kalaupun bukan agama, pasti sentimen suku atau ras. Keburukan lawan dikeruk hingga tersisa kerak, kebaikan lawan ditimbun hingga tak terlihat sedikit pun. Seluruh seruan selalu diakhiri "Tuhan akan menolong kita" atau yang semacamnya. Bagaimana kalau Tuhan justru menolong pihak Pak Jokowi? 

Pikiran jernih rakyat akhirnya sekarat. Banyak yang termakan provokasi. Ajaibnya, demonstrasi yang digadang-gadang damai malah berakhir ricuh. Fadli dan kolega mangkir dan cuci tangan. Hari ini bilang A, besok-besok jadi Z. Lupa mereka bahwa drama picisan dengan skenario abal-abal mudah tersingkap pada zaman digital ini.

Meski Fadli mati-matian menyatakan kubu Kertanegara tidak ada kaitannya dengan perusuh, faktanya ada mobil ambulans berlogo Gerindra yang kedapatan mengangkut batu dan senjata tajam. Belum lagi sitaan uang berjumlah jutaan rupiah yang belum sempat dibagi-bagi.

Perusuh biasanya pesuruh alias suruhan. Pesuruh atau yang disuruh pasti menyertakan penyuruh atau yang menyuruh. Yang disuruh kemungkinan besar mau melakukan sesuatu karena ada iming-iming. Di sinilah korelasi antara suruhan dan bayaran.

Itu sekadar seluk-beluk kata "perusuh" yang kemungkinan besar merangkap "pesuruh". Artinya, para perusuh itu boleh jadi orang-orang suruhan. Rasa-rasanya mustahil 200-an perusuh yang kini berurusan dengan polisi ujuk-ujuk muncul dari perut bumi. 

Semua bermula dari ketidakpuasan dan berakhir pada kekerasan. Ketidakpuasan itu dipicu oleh provokasi. Adapun provokasi berakar pada kepentingan.

Kita kembali pada Fadli dan provokasi. Secara kasatmata, kita dapat menemukan bukti bahwa Fadli sering memprovokasi. Lihat saja akun Twitter beliau. Belum raib dari benak bagaimana Fadli memainkan kata-kata terkait temuan selongsong peluru di Petamburan, Jakarta.

Foto: Istimewa/Akun Twitter @fadlizon
Foto: Istimewa/Akun Twitter @fadlizon
Politikus yang gemar menganggit puisi ini dengan enteng menyatakan "diduga ada peluru tajam". Memang ada kata "diduga" dalam cuitannya, tetapi kata itu dapat meletikkan api yang mulai redup. Provokasi jelas tersurat lewat "peluru tajam". Jika rakyat malas menimbang, seketika kalap dan menuduh polisi asal-asalan memakai pelor.

Sebenarnya tidak aneh karena Fadli kerap mencuitkan pernyataan serupa. Padahal selaku mitra pemerintah, Fadli bisa menggunakan DPR untuk mengundang Kapolri. Gelar dengar pendapat. Selaku bagian dari petinggi negara, mestinya Fadli bermain di ranah konstitusi alih-alih di tanah merah membara.

Hal serupa tampak pada kampanye "pilpres curang". Jika ingin berlaku arif selaku wakil rakyat, Fadli bisa menginisiasi rekan kerjanya di DPR untuk memanggil KPU dan Bawaslu. Bukan malah menyindir peranti komputer di KPU dan sindirannya salah data pula.

Provokasi terbaru berupa dugaan peluru tajam juga menuai kecaman dan cemoohan. Capek-capek mengetwit, malahan dicerca warganet. Bukan apa-apa, Fadli kedodoran membedakan antara peluru karet, hampa, dan tajam. Netizen pun tertawa. Malu jadinya, kan? 

Terakhir, Fadli seyogianya mengimbau koleganya di kalangan elite BPN agar berhenti memprovokasi. Kalau bisa, berhenti membawa-bawa rakyat dan agama. Patut dicamkan, pemilih Pak Jokowi juga rakyat Indonesia yang beragama.

Jadi, yang mesti diseru Fadli agar berhenti memprovokasi adalah elite BPN. Bukan rakyat. Tiada beda dengan menyuruh orang membeli cermin supaya rajin berkaca. Ya, ambil cermin dan lihat siapa yang selama ini getol dan gatal memprovokasi. 

Percayalah: Sia-sia menyuruh rakyat berhenti menari selama elite terus menabuh gendang. [khrisna]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun