Sebenarnya tidak aneh karena Fadli kerap mencuitkan pernyataan serupa. Padahal selaku mitra pemerintah, Fadli bisa menggunakan DPR untuk mengundang Kapolri. Gelar dengar pendapat. Selaku bagian dari petinggi negara, mestinya Fadli bermain di ranah konstitusi alih-alih di tanah merah membara.
Hal serupa tampak pada kampanye "pilpres curang". Jika ingin berlaku arif selaku wakil rakyat, Fadli bisa menginisiasi rekan kerjanya di DPR untuk memanggil KPU dan Bawaslu. Bukan malah menyindir peranti komputer di KPU dan sindirannya salah data pula.
Provokasi terbaru berupa dugaan peluru tajam juga menuai kecaman dan cemoohan. Capek-capek mengetwit, malahan dicerca warganet. Bukan apa-apa, Fadli kedodoran membedakan antara peluru karet, hampa, dan tajam. Netizen pun tertawa. Malu jadinya, kan?Â
Terakhir, Fadli seyogianya mengimbau koleganya di kalangan elite BPN agar berhenti memprovokasi. Kalau bisa, berhenti membawa-bawa rakyat dan agama. Patut dicamkan, pemilih Pak Jokowi juga rakyat Indonesia yang beragama.
Jadi, yang mesti diseru Fadli agar berhenti memprovokasi adalah elite BPN. Bukan rakyat. Tiada beda dengan menyuruh orang membeli cermin supaya rajin berkaca. Ya, ambil cermin dan lihat siapa yang selama ini getol dan gatal memprovokasi.Â
Percayalah: Sia-sia menyuruh rakyat berhenti menari selama elite terus menabuh gendang. [khrisna]