Mengapa saya menyebut puisi berjudul Doa yang Ditukar itu sebagai puisi abal-abal? Dari telaah sederhana di atas saja sudah terang dan gamblang. Saya tidak sanggup menguliti puisi tersebut, apalagi menelanjangi kata demi kata.
Sekalipun demikian, selaku penyuka puisi, saya berharap Bang Zon meraut kembali kepekaan estetis dan etisnya. O, maaf, sebaiknya Bang Zon tidak repot-repot mengasah kepekaan gramatikal. Tidak perlu pula mengasuh kepekaan batin. Jika itu terjadi, saya khawatir tidak dapat merasakan nikmat geli-geli kesal setiap membaca puisi Bang Zon.Â
Sungguh, saya seakan mendapat hiburan terselubung dari puisi-puisi beliau. Sayang juga kalau Bang Zon berhenti menulis puisi. Maka dari itu, saya mendoakan supaya beliau terus berpuisi. Tidak apa-apa mutunya cetek, dangkal, abal-abal, atau ecek-ecek. Biarkan saja! [khrisna]