Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Dilema Salah Pilih Diksi

28 September 2018   15:42 Diperbarui: 28 September 2018   16:27 2290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Bulan Bahasa, Oktober 2018, sudah di depan mata. Saatnya kembali menakar kecintaan dan kebanggaan kita pada bahasa Indonesia.. 

Jika bertolak dari 1928, kala Sumpah Pemuda dikumandangkan, berarti bahasa Indonesia sudah 90 tahun didapuk sebagai bahasa persatuan kita. Jika bertumpu pada pengesahan UUD 1945, berarti sudah 73 tahun lamanya bahasa Indonesia kita sepakati sebagai bahasa pemersatu. 

Sungguh usia yang sudah tidak muda, malah telah menapaki anak tangga renta.

Sayang sekali, kebanggaan dan kecintaan kita terhadap bahasa Indonesia belum setara dengan kemampuan kita dalam menggunakannya. Entah lisan entah tulisan sama-sama sering keliru. Ejaan sudah silih berganti, tetapi kesalahan dalam berbahasa masih kerap terjadi.

Zaman kekeliruan menggunakan bahasa takbaku dalam tulisan--seperti antri, analisa, dan hipotesa--belum juga berakhir. Segelintir pengguna bahasa Indonesia masih kaku memakai kata antre, analisis, dan hipotesis. Salah kaprah merubah atau merobah, yang mestinya mengubah, masih kerap terjadi. Sebagian di antara kita masih sering keliru membedakan antara di- sebagai imbuhan dan di sebagai kata depan. Itu hanya sekadar contoh.

Sadar tidak sadar, salah pilih diksi dapat mengancam "keselamatan bahasa Indonesia". Salah pilih diksi yang terus berlarut-larut dilakukan bisa berujung pada salah kaprah. Adapun kata salah yang kita kaprahkan akhirnya membuat kita merasa bahwa itulah kata yang tepat. Padahal, keliru. 

Kesalahkaprahan itu justru kerap dilakukan oleh barisan penulis, termasuk jurnalis, sebagai garda terdepan pewarta bahasa Indonesia. Alih-alih menularkan virus cerdas berbahasa Indonesia, beberapa penulis justru mencontohkan penggunaan bahasa Indonesia yang keliru.

Coba aktifkan gawai, kemudian ramban dan bacalah berita-berita. Media daring amat sering menayangkan berita yang abai pada kaidah tata bahasa. Judul disusun secara sambalewa atau serampangan, semacam akal-akalan demi memantik gairah pembaca untuk mengklik berita. Isi berita banyak memajang kata yang salah kaprah. Mari kita simak contoh berikut.  

(1) "Kita harus menggunakan bahasa yang santun dalam berkampanye," harap Reza.

Penggunaan kata harap dalam (1) adalah contoh kesalahan yang dikaprahkan. Seolah-olah kata harap semakna dengan kata. Padahal, kata harap berarti "mohon atau minta". Dapat juga diartikan "keinginan supaya sesuatu terjadi". Dengan demikian, harap bukanlah diksi yang pas untuk mendeskripsikan petikan atau kutipan dari narasumber. Jika bosan menggunakan kata, silakan memakai varian diksi yang semakna seperti ucap atau ujar.

(2) "Jangan memfitnah," potong Reka.

Kata potong dapat kita temukan bahkan dalam prosa, baik cerpen maupun novel, ketika pengarang menggambarkan satu tokoh menukas atau menyela perkataan tokoh lain. Hal sama juga sesekali tampak dalam warta di media daring tatkala narasumber lekas-lekas menyahuti ucapan wartawan. Dari sana bermula kata potong disangka dapat menggantikan posisi kata, ucap, atau ujar.

(3) Pesta demokrasi bukan ajang untuk mengata-ngatai kubu lawan," pungkas Reva.

Kata pungkas kerap muncul ketika jurnalis media daring ingin mengakhiri nukilan wawancara. Kata pungkas pada kalimat (3) senasib dengan harap dan potong. Kata tersebut seakan-akan dapat digunakan sebagai variasi dari kata. Padahal, salah kaprah. Pungkas memang berarti "akhir", bukan "mengakhiri". Untuk mendapatkan makna "mengakhiri", mestinya memungkasi. Meski begitu, memungkasi juga tidak tepat untuk mengisi posisi katanya.

Kata harap dalam kalimat (1), potong di kalimat (2), dan pungkas pada kalimat (3) sebenarnya menunjukkan bahwa ada hasrat menggelora dari si penulis untuk menyajikan variasi diksi. Sayang, diksi yang dipilih kurang tepat. Kata "kurang tepat" sengaja saya pilih supaya berasa sedikit lebih halus dibanding "keliru". Dilema ini terasa sangat pelik bagi penulis yang malas membuka kamus.

Boleh saja variasi diksi kata kita bubuhkan selama tepat makna. Lagi pula, bahasa Indonesia menyediakan variasi kata yang beragam. Masih ada cakap dan tutur. Bahkan titah. Jikalau ucapan narasumber merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan wartawan, diksi sahut atau jawab dapat kita pilih. Malahan ada pilihan bantah, kilah, atau sanggah selagi tepat dengan kondisi saat wawancara dan pas dengan makna yang dikehendaki.

Kita juga bisa menggunakan mengatakan dan kata yang serumpun dengannya. Ada kata mengabarkan, menceritakan, atau mengucapkan. Jika ingin membubuhkan makna penegasan, kita dapat memilih diksi menegaskan. Kalau mau makna penjelasan, kita bisa memilih diksi menguraikan, menggambarkan, menerangkan, menjelaskan, atau mengungkapkan. 

Tinggal seberapa kreatif kita dalam memilih kata dan menaruhnya di dalam kalimat.

Dengan demikian, kalimat (1), (2), dan (3) dapat dinyatakan sebagai berikut.

(4) "Kita harus menggunakan bahasa yang santun dalam berkampanye," ujar Reza.

(5) "Jangan memfitnah!" Tukas Reka dengan suara melengking.

(6) "Pesta demokrasi bukan ajang untuk mengata-ngatai kubu lawan," tutur Reva.

Semoga hasrat kita selalu bergelora untuk terus belajar lebih cerdas dalam berbahasa Indonesia. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun