Pagi tadi, tiga kata begitu memberati kepala saya. Ketiganya adalah makan, mikir, dan makar. Ketiganya menyerbu kepala saya bagaikan segerombolan semut menyerang toples gula yang tidak tertutup rapat.
Saya pikir segelas teh sudah cukup menghangatkan cacing-cacing di perut saya yang serempak bergeriak-geriuk. Ternyata tidak. Cacing-cacing itu kesal karena hanya segelas teh yang saya setor ke dalam perut semenjak terbangun.
Cacing-cacing tersebut memprotes perangai saya yang, setelah terjaga, lebih cekatan mencari gawai daripada mencari gorengan atau kudapan atau penganan. Mereka pasti lupa bahwa mata saya juga lapar, ya, lapar mengeja kabar di layar gawai.
Kemudian mata saya tertumbuk pada maraknya kata "makar" berseliweran di media sosial, bahkan lebih banyak dibanding kata "makan". Entah mengapa kata "makan" belum gentayangan, padahal makar dan makan hanya dibedakan oleh huruf terakhir.
Meski begitu, secara samar, kedua kata itu dapat dipersatukan oleh kenyang. Yang berniat makar "mungkin" menginginkan kekuasaan supaya kenyang, sedangkan yang berniat makan "barangkali" mengangankan makanan supaya kenyang.
Sengaja saya jejalkan "mungkin" pada kalimat penjelas makar, karena kadang niat makar muncul di kepala orang-orang yang mendambakan tergulingnya rezim yang tidak dikehendaki. Saya perjelas sekali lagi, "kadang". Kata kadang menegaskan makna "tidak selalu".
Gara-gara kebanyakan membaca kata makar, tiba-tiba saya merasa sangat lapar. Perasaan ingin segera makan menguasai pikiran saya. Saya kira, saya tengah dilanda lapar batin. Ini jenis lapar yang tidak tersembuhkan meskipun berpiring-piring makanan dijejalkan ke dalam perut.
Makar dan makan membuat ingatan saya teralih kepada semboyan dahsyat yang kerap dibahanakan oleh Cak Lontong. Semboyan itu adalah "mikir", kata yang merupakan bentuk cakapan dari kata "berpikir".Â
Persekutuan makar, makan, dan mikir ternyata memicu kemarahan cacing-cacing di dalam perut saya. Demonstrasi mereka kini berasa sangat dahsyat, amat sangat dahsyat, dan saking dahsyatnya sampai-sampai saya bingung dan linglung.
Perut lapar memang berpeluang mengantar pikiran saya berkelana ke mana-mana. Beda kalau sedang kenyang. Rasa begah sering membuat saya malas berpikir. Pada saat kekenyangan, saya cenderung memilih tidur daripada berpikir. Apatah lagi memikirkan "makar".