"Ada sesuatu di matamu yang suatu ketika pasti kurindukan!"
"Gombal!"
"Barangkali kamu tidak bisa membedakan suatu dengan sesuatu. Baik, akan kujelaskan untukmu." Ia tertawa tanpa mengindahkan mata Tami yang mendelik. "Kata suatu semakna dengan satu. Jadi kita bisa menyebut 'pada suatu hari', tetapi tidak bisa mengatakan 'pada sesuatu hari'. Paham, Neng?"
Sebelum Tami menjawab, Remba kembali berkata, "Beda dengan sesuatu, kata suatu dapat diikuti langsung oleh kata benda. 'Pada suatu ketika saya pasti melihat senyummu lagi', itu contohnya. Bandingkan dengan kalimat ini. 'Aku yakin di antara kita akan ada sesuatu!' Jelas?"
"Ada sesuatu yang belum kamu kenali pada dirimu sendiri!"
Remba tercengang. "Apa?"
"Sesuatu yang menyebalkan!"
Remba terbahak-bahak ketika berbalik, merunduk dan mencium bayi di atas kasur, lalu pamitan kepada tuan rumah. Ia masih tertawa ketika melambaikan tangan kepada Tami, tawa yang menandaskan rasa percaya diri yang tinggi. Begitu ceritanya.
Lalu, keajaiban tiba. Kadang kita mengimpikan sesuatu terjadi dan peristiwa impian itu terwujud secara tidak terduga. Itulah serendipiti. Tami mengalaminya. Ada sesuatu pada lelaki itu yang membuatnya ingin bertemu.
Rindu dan cemburu itu sama-sama cinta. Tak perlu sendu karena rindu, tak perlu risau karena cemburu.Â
Pada satu sore, ketika Depok masih basah setelah diguyur hujan pagi tadi, Tami melihat lelaki itu. Remba duduk di depannya. Memunggunginya. Tepekur pada sebuah buku dan tidak terusik pada bising pengunjung kafe. Ia beranikan diri duduk di depan cowok berambut panjang itu.