Mengapa saya sudi sesibuk itu memelototi kamus? Saya ingin kata yang saya pakai sungguh-sungguh cocok dengan makna yang saya bayangkan. Jika yang saya bayangkan adalah gemerencik atau bunyi air hujan yang mengenai kaca jendela, jangan sampai malah memakai kata gemercik alias bunyi air yang jatuh menimpa genangan air. Sama-sama bunyi air, namun posisi jatuhnya berbeda. Saya tidak mau begitu.
Mengapa jumlahnya harus 111 kata? Saya tidak ingin seluruh waktu kreatif saya disita oleh kamus. Jika target saya 222 atau 333, tenaga dan pikiran saya akan terkuras. Jangankan 555 kata, mencari 33 kata saja belum tentu cepat dan mudah. Bisa-bisa novel tidak selesai-selesai saya tulis.
Dari situlah tulisan saya bermula. Saya tidak pernah macet di tengah jalan lantaran sulit mencari kata yang tepat. Hal paling menjengkelkan dalam hidup saya, di luar soal rekening yang lebih sering kosong daripada terisi, adalah tertumbuk di jalan buntu ketika menulis. Seperti hidung yang sudah gatal, eh, malah batal bersin. Seperti perut yang mules luar biasa, eh, tidak ada apa-apa yang keluar padahal sudah lama di kakus.
Percaya atau tidak, bahasa Indonesia itu sangat kaya.Â
Khusus soal duduk saja, bahasa Indonesia punya 30 varian. Coba kalian bayangkan. Ada 30 varian duduk dalam kamus dan, selama ini, kita hanya menggunakan duduk, bersila, atau bersimpuh. Ini baru duduk, belum ditambah berjongkok atau berdiri.Â
Tidak percaya? Silakan tilik dengan cermat data berikut.
Pernahkah kalian melihat orang yang marah-marah karena penulisan namanya tidak tepat?
Nah, kata juga begitu. Bayangkan betapa selama ini kita telah sedemikian kurang ajar kepada kata. Kita tidak memikirkan perasaan kata yang kita korupsi satu huruf darinya. Mestinya karier, kita malah menulis karir. Mestinya hierarki, kita malah memakai kata hirarki. Alih-alih elite politik, yang kita tulis malah elit politik. Sesudah itu, kita berkoar-koar menentang korupsi.Â
Maaf, rasanya saya agak berlebihan di bagian ini.
Kita kembali pada tradisi korupsi satu huruf tadi. Sekarang kalian tanya diri sendiri. Apakah selama ini saya selalu menggunakan katafrustasi? Jika jawaban kalian ya, berarti kalian sudah lama menyakiti perasaan kata dan tidak pernah meminta maaf kepadanya. Yang tepat bukan frustasi, melainkan frustrasi. Andaikan kalian tokoh publik atau sosok yang tulisannya kerap dibaca orang, bayangkan sudah berapa pembaca yang kalian sesatkan?