Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bermula dari Masjid

20 Mei 2018   23:11 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:27 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Kebersamaan mengambil air itu sangat menyenangkan. Kami menyebutnya jalan ibadah. Suhardi,yang sekarang dai muda tenar di Makassar itu, dulu pasangan saya memikul air. Kami bergantian karena masih kecil. Yang lebih besar tidak bergantian. Namun, biasanya berhenti mengaso tatkala sudah separuh jalan. 

Di antara anak seumuranku, Suhardi dan Jamil--putra bungsu Om Syarif--yang paling berani tampil kalau Ramadan. Aku dan Nurjihadi, sepupuku, yang paling pemalu. Tidak heran jika aku dan Nurjihadi memilih masuk SMP. Sementara yang lain masuk Madrasah Tsanawiyah atau pesantren. 

Masjid kami sederhana. Untuk mengganti atap daun lontar menjadi seng saja butuh bertahun-tahun. Rata-rata warga kampung miskin. Baru tiga orang yang punya motor. Om Syarif dan Om Tari yang keduanya guru SD, serta Om Sewang yang bekerja sebagai Juru Penerang di Departemen Penerangan. Kakakku, Saleh, punya sepeda. Itu pun bantuan orangtua angkat yang berkebangsaan Kanada. Beberapa orang di kampungku punya keluarga angkat dari Eropa dan Amerika. Mereka dapat surat, wesel untuk biaya sekolah, dan sepeda.

Mataku berkaca-kaca ketika Masa Kecil mendesah. "Tetapi Ayah dan Ibu benar."

"Benar bagaimana?"

"Kamu belajar dari kesalahan dan bernyali karena kesalahan itu."

Barangkali orangtua memang harus begitu. Harus selalu mampu mengungkit semangat ketika anaknya sedang merasa terpuruk. 

Setelah malam pertama yang memalukan itu, kubuang rasa takut. Kalau Suhardi berhalangan saat gilirannya protokol, aku yang gantikan. Saat Nurjihadi sengaja menginap di rumah kakeknya, aku yang gantikan. Pendek kata, aku adalah ban serep yang selalu siap menjaga podium. 

Puncaknya ketika Tim Safari Ramadan dari kabupaten batal datang. Jalanan yang berlumpur setinggi mata kaki membuat mobil tim tidak bisa masuk ke Borongtammatea, kampungku. 

Suhardi protokol, Syuaib--adik Om Mansyur--tilawah, dan aku yang ceramah. Malam itu Tarawih berasa syahdu sekali. Aku ke mimbar tanpa persiapan apa-apa. Kupakai taktik Harmoko, tiba masa tiba akal. Hasilnya sukses luar biasa. 

Dari masjid sederhana itulah nyaliku diasah. Dari kebiasaan ban serep itulah aku makin rajin membaca. Dari kegilaan membaca itu pula aku mulai belajar menyusun konsep ceramah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun