Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bermula dari Masjid

20 Mei 2018   23:11 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:27 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Memang tidak ada yang tertawa. Namun, teguran Om Syarif seperti gemuruh guntur di telingaku. Alih-alih memperbaiki kekeliruan, rasa gugupku menjadi-jadi. Maka mengalirlah kalimat berdasarkan firman Nabi Muhammad. Memang tidak ada yang tertawa, tetapi aku malu sendiri. Malam itu sempat kuharap lantai masjid terbelah dan tubuhku jatuh ke dalam rekahannya. 

Setiba di rumah, Ayah mengelus rambutku. "Kamu hebat, Nak."

Aku semakin malu. Salah kok dipuji hebat. Ibu memelukku. Pelan-pelan kusembunyikan air mataku di mukenanya. 

"Anak lain pasti sudah lari turun," kata Ibu menenangkan gelusahku, "kamu tetap bertahan hingga tugasmu selesai."

Ayah kembali mengelus rambutku. "Jangan takut salah. Kita kuat karena belajar dari kesalahan."

Mataku kembali memejam. 

Aku ingat, malam itu pelukan hangat Ibu dan elusan lembut Ayah menguatkan hatiku. Tidurku nyenyak setelahnya. Aku bahkan tidak ikut main cokko-cokkoeng--petak umpet--di pohon waru di depan rumah Om Mado. Aku memilih masuk ke masjid dan tidur hingga waktu sahur tiba.

Beranda masih gelap dan Masa Kecil tetap betah menemani.

Ia tersenyum. "Andaikan bukan karena Masjid Nurul Muhammad, masjid berlantai tanah di kampung, kamu tidak akan seperti sekarang."

Aku mengangguk setuju. Hampir semua anak-anak di kampungku kelak menjadi orang hebat. Armin, putra sulung Om Syarif, jadi perintis pembentukan TK/TPA di Kabupaten Jeneponto. Om Mansyur, anak ketiga Kakek Silang, kini sudah doktor. Suhardi, sepupu yang jago debat, sekarang sudah jadi dai. Bakaring, kakak sulungku, satu-satunya lulusan Secatam (Sekolah Calon Tamtama) yang bisa pensiun di pangkat Mayor dan tetap mahir berdakwah. Mereka bermula dari masjid sederhana di kampung. 

Masjid di kampungku semula di belakang rumah Om Syarif, lalu dipindahkan ke samping rumahku agar tepat berada di sisi jalan. Menghadap ke selatan. Tanpa menara megah, tanpa kran air wudu. Lantaran air kurang, biasanya kami bergotong royong mengisi kolam dengan cara memikul air dari sumur sejauh satu kilo. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun