Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Jendela

16 April 2018   13:14 Diperbarui: 7 Mei 2018   15:46 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

/1/

Tetangga pondokanku seorang lelaki tua. Istrinya masih muda. Cantik dan pintar menyanyi. Kamarnya di lantai tiga. Paling barat menghadap ke utara. Ia guru. Tiap pukul delapan pagi, seusai istrinya menyanyi, ia berangkat mengajar. Di sekolah musik, tak berapa jauh dari pondokan kami, ia mengajarkan teknik bernyanyi di hadapan kesedihan--kepada anak-anak muda yang bermimpi jadi musisi.

/2/

Tetanggaku seorang lelaki tua. Istrinya cantik dan pintar menyanyi. Tiap pukul delapan pagi, sebelum ia pergi mengajar, suara istrinya menembus dinding kamarku. Lirik pilihan istrinya selalu sama. Hari ini kita puasa, hari ini kita merana. Lirik itu dinyanyikan lirih, serak dan berderak, seperti raung seorang ibu yang putra tunggalnya meninggal beberapa saat setelah dipaksa ikut tawuran oleh teman sekelasnya.

/3/

Tetanggaku lelaki tua. Istrinya pintar menyanyi. Pukul lima sore ini, di mulut pintu, ia kaget mendengar lagu istrinya yang tiba-tiba berbeda. Aku menyukaimu, aku mencintaimu. Otaknya gegar dimemarkan luka, matanya gelap dimerahkan marah. Seorang lelaki muda, gagah perkasa, menceratuk di punggung istrinya. Seminggu belakangan ini, saban lohor, lelaki itu mengunjungi kamarnya. Les menyetem dan memainkan gitar. Diam-diam ketika ia tengah lembur, lelaki muda perkasa itu praktik menyetem kutang dan memainkan tubuh istrinya.

/4/

Tetanggaku lelaki, istrinya menyanyi. Ia meninju-ninju tembok. Lirik pilihan istrinya sekarang beda. Perut dan sesuatu di bawah perutku butuh makan. Bersama marah, ia usir istrinya. Bersama sesak, ia berlari ke jendela. Di sana ia menabuh luka dan menabung air mata. Sambil menunjuk-nunjuk langit--tempat yang ia kira Tuhan dan Keadilan sembunyi di situ.

/5/

Tetanggaku lelaki. Ia menyanyi demi Tuhannya, tetapi Keadilan tak mengindahkan suaranya. Dari ketinggian sembilan meter ia lempar tubuhnya ke halaman pondok. Dengan tabah, sebongkah batu mencium ubun-ubun dan mematahkan lehernya. 

/6/

Tetanggaku. Sisa-sisa suaranya berceceran di sela-sela isi otaknya--yang lesap ke pori-pori batu.

2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun