Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Empat Rumus Ajaib Membuka Cerita

31 Maret 2018   13:50 Diperbarui: 1 April 2018   11:42 4029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

  

Saya ingin bertemu Bapak Presiden. Ada kisah yang ingin saya ceritakan. Saya beroleh kabar, beliau adalah pendengar yang baik. Konon, sewaktu mau jadi presiden, beliau rajin bertandang ke rumah-rumah penduduk, mendengarkan dengan tekun apa yang menjadi keluh kesah dan harapan penduduk yang didatanginya itu. Pernah, suatu hari, beliau berkunjung ke rumah sederhana milik Pak Mayar, seorang petani renta berumur 85 tahun yang hanya punya sepetak kebun.

Cobalah kamu bayangkan apa yang dilakukan Agus Noor ketika menulis paragraf awal itu. Kuharap kamu tidak menduga Agus berlama-lama pada alinea pembuka itu dan tidak bergerak-gerak dari sana sebelum ia merasa bahwa paragraf pertamanya sudah benar-benar sempurna. Tidak. Akan tiba waktunya kamu harus menginvestasikan waktumu lebih lama pada paragwaf pertama. Dan, itu boleh kamu lakukan setelah apa yang berliaran di kepalamu sudah kamu tumpahkan ke dalam ceritamu.

Dulu aku suka begitu. Merasa bahwa nyawa cerita ada pada dua paragraf pembuka, aku senang berlama-lama di sana. Akibatnya fatal. Cerpenku kadang tidak rampung dalam seminggu atau sebulan atau, malahan, setahun. Begitu aku tergoda membaca ulang alinea pembuka, hasrat menyunting akan menggebu-gebu. Hapus kata tertentu, ganti dengan kata lain yang lebih ajek. Begitu selalu. 

Sekarang tidak. Kurampungkan dulu ceritaku baru aku kembali ke alinea pembuka. Hasilnya mencengangkan. Aku bisa menulis satu cerpen dalam bilangan jam. Bukan hanya berlaku pada cerpen, dalam menulis artikel pun aku memakai rumus yang diajaib-ajaibkan ini.

Tunggu, Lema. Ada sesuatu di jendela.

***

Ternyata tidak ada apa-apa. Hanya suit angin yang membuat tirai jendela bergoyang-goyang.  

Kita sudah tiba pada rumus ketiga, bukan? Ini dia, Lema. Abaikan frasa klise atau metafora lazim. Ini penting, Sayang, supaya ceritamu tidak termasuk pada golongan biasa-biasa saja atau rasa bacanya sudah lumrah. Frasa seperti otak udang, kepala besi, atau seperti hijaunya rumput tetangga sebaiknya kamu jauhi. Carilah frasa yang lebih segar. Pembaca menyukai kesegaran dan kekhasan gaya bercerita.

Kalaupun kamu terpaksa melakukannya, permaklah frasa atau metafora itu sedemikian rupa agar berasa segar. Jangan comot bulat-bulat lantas kamu taruh begitu saja ke dalam ceritamu. Misalnya, seperti sebatang rokok yang dicampakkan pengisapnya sebelum ia layak menjadi puntung. Ah, abaikan. Itu contoh yang kucantumkan secara tergesa-gesa. Maklum, bayangan sepasang tangan masih menghantuiku. Meski begitu, kamu tidak usah cemas. Aku menulis rumus ajaib ini dengan sepenuh cinta.

Kita berhenti dulu di sini. Sebaiknya kita baca paragraf pembuka cerpen Arajang.[4]

  

Tidak mudah menjadi lelaki, begitu pun menjadi perempuan. Tetapi lebih tidak mudah lagi menjadi calabai, lelaki yang menyerupai perempuan. Di kampung kelahiranku, Malakaji, sebuah kampong di kaki Gunung Bawakaraeng, lelaki hanya butuh mahir berkuda, beladiri, atau berdagang. Menjadi perempuan lebih mudah lagi, yang penting bisa masak, mencuci, serta merawat suami dan anak jika sudah berkeluarga. Tapi tidak begitu jika kamu calabai. Kamu akan digiring takdir menuju "negeri antara", merasakan pedihnya caci-maki dan pelecehan yang terus berulang seolah itu sarapan yang harus kamu santap saban hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun