Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apartemen Anggota Dewan: Wacana Mer[d]eka

17 Agustus 2017   09:18 Diperbarui: 26 Mei 2019   13:59 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (22/5/2009).(KOMPAS/PRIYOMBODO)

Belakangan ini santer terdengar wacana pembangunan apartemen bagi anggota DPR. Syahdan, lahan yang akan digunakan adalah Taman Ria Senayan. Tentu saja ini kabar yang menggembirakan. Wacana ini pasti bertumpu pada keyakinan bahwa ekonomi kita kian meningkat dan menguat, sehingga wakil kita di Senayan perlu dihadiahi apartemen setelah dikasih rumah.

Sebagai penyambung lidah rakyat, sebagai pembela warga negara di seluruh pelosok nusantara, sebagai pejuang garis depan dalam memperjuangkan nasib rakyat yang diwakilinya, anggota dewan memang patut dilimpahi rupa-rupa kenyamanan. Biar makin getol membela rakyat. Biar makin gesit bekerja. Biar bisa istirahat dengan nikmat setelah berjuang habis-habisan untuk daerah pemilihannya.

Rakyat, tanpa diikuti kata jelata, mestinya arif dan bijak menyikapi wacana tersebut. Pada masa lalu, semasa masih disebut Jacatra atau Batavia oleh penjajah, rakyat Jakarta sudah terbiasa melihat para "meneer" terbahak-bahak di "gedong megah" dari jendela rumah mereka yang rapuh, lapuk, dan berayap. Kini, setelah 72 tahun merdeka, rakyat mesti merdeka dari kekesalan dan kebencian: membayang-bayangkan anggota dewan ngorok dan ngiler di apartemen mewah.

Anggap saja taman atau tempat bermain tidak pas berada di bilangan Senayan. Nanti rakyat yang tak bersepatu dan tak berdasi, yang dekil dan belum mandi, yang kumal dan bau ketek, yang ceking dan menahan perih lapar, yang kuyu karena tidur di kolong jembatan layang, yang langit jadi atap rumahnya, main-main di taman itu dan ketahuan betapa banyak "yang diwakili anggota dewan itu" yang belum kenal kasur empuk atau dapur dengan makanan tumpah ruah. Sekalian usulkan nama apartemen itu: Apartemen Rasa Mer[d]eka.

Tenang saja. Rakyat pasti leluasa berkunjung ke apartemen baru itu, andai kata benar-benar nanti dibangun, untuk menemui anggota dewan. Di sana, rakyat bisa merasakan hawa dingin mencucuki kulit, mencium kamar yang diruapi wewangian atau aroma terapi, kemudian menyampaikan aspirasi dengan santun dan halus: Sungguh ini imbalan setimpal bagi kinerja anggota dewan yang luar bi[n]asa.

Tak ada yang perlu dicemaskan, bukan?

Taman itu, bila sudah ditanami beton apartemen, akan tampil lebih elegan. Bukankah gedung pencakar langit lebih menunjukkan kemajuan dan kemapanan dibanding pohon-pohon dan bunga-bunga? Jangan sewot. Anggap saja begitu. Anggap pula tulisan ini sekadar gerutuan atau racauan rakyat--dengan kata jelata di belakangnya.

Merdeka!

@khrisnapabichara 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun