Ketiga, karya tulis Dr. Georg Kirchberger berjudul Konsep Ethos Global Hans Kng dan Relevansinya Terhadap Upaya Dialog Antaraagama di Indonesia yang diterbitkan di Jurnal Ledalero, Vol.21, No.1 Juni 2022. Dalam tulisannya Dr. Kirchberger mengupas tuntas nilai-nilai global sebagai ethos global, seperti: pantang kekerasan, solidaritas dalam keadilan, kejujuran, kesetaraan antara pria dan wanita dan tanggung jawab ekologis sesuai prespektif Hans Kng.Â
3. Tentang Mama Aleta Baun
Mama Aleta Baun lahir sebagai perempuan suku Mollo, anak seorang Amaf di kampung Lelobatan, 16 Maret 1966. Ia lahir dari keluarga petani miskin di kaki gunung Mutis. Pendidikan tertingginya adalah tamat SMA Kristen Kupang. Ia menikah dengan Lifsus Sanam, seorang guru dan dikaruniai 3 anak. Di masa muda, ia kehilangan ibunya, lalu ia dibesarkan oleh seorang wanita sesukunya. Suku Mollo berabad-abad hidup dari keanekaragaman hayati yang disakrarkan. Perempuan Mama Aletta Baun memiliki hak mengakses tanah Mollo karena ia merupakan warga komunal dari suku Mollo.
3.1. Ceritera Perjuangan Mama Aleta Baun
Ceritera tentang perjuangan Mama Aleta Baun sudah ditulis secara meyakinkan oleh Barbara Schreiber di Media Britannica.com, sebagai berikut: Selama tahun 1980-an pejabat pemerintah daerah Kabupaten TTS secara ilegal mengeluarkan izin kepada perusahaan pertambangan, suatu tindakan yang memungkinkan perusahaan untuk memotong batu marmer dari pegunungan di wilayah Molo tanpa berkonsultasi dengan penduduk desa setempat. Penggundulan hutan dan tanah longsor akibat pertambangan terbukti menjadi ancaman langsung bagi penduduk desa, yang menggunakan hutan untuk mengumpulkan makanan dan obat-obatan serta tanaman yang dibutuhkan untuk membuat pewarna alami untuk kain tenun tradisional mereka. Tanah longsor sangat menghancurkan desa-desa di hilir, karena mencemari sungai-sungai besar di wilayah itu, yang memasok air minum dan irigasi bagi sebagian besar penduduk. Pada akhir 1990-an Baun mengorganisir sebuah gerakan dengan tiga perempuan lainnya, berjalan kaki dari desa ke desa (beberapa perjalanan memakan waktu hingga enam jam) untuk mengumpulkan dukungan terhadap operasi pertambangan. Tindakan tersebut memicu pembalasan kekerasan terhadap banyak pengunjuk rasa, dan Baun menjadi target upaya pembunuhan yang memaksanya bersembunyi di hutan bersama bayinya. Terlepas dari intimidasi, kampanye Baun berkembang dengan menyertakan dukungan dari ratusan penduduk desa dan mencapai puncaknya pada tahun 2006 dalam sebuah protes damai. Sekitar 150 perempuan menduduki lokasi penambangan selama setahun, duduk di atas batu marmer sambil menenun kain tradisional mereka. Perusahaan pertambangan, dalam menghadapi tekanan yang meningkat dari dukungan publik yang meningkat (di seluruh Indonesia dan luar negeri) untuk para penenun, menghentikan operasi mereka, dan pada tahun 2010 mereka telah menarik diri dari daerah tersebut. Setelah seluruh  Perusahaan tambang marmer menarik diri dari Kabupaten TTS, bersama kelompoknya Mama Aleta melakukan konservasi hutan untuk memulihkan kerusakan alam akibat penambangan Marmer. Mama Aleta Baun melanjutkan perjuangannya melawan proyek-proyek pembangunan masa depan dengan bekerja sama dengan masyarakat lain di seluruh pulau Timor barat untuk memetakan hutan tradisional mereka dalam upaya untuk membangun hak teritorial adat dan mempertahankan tanah mereka dari eksploitasi yang akan datang dari industri pertambangan, minyak, dan gas serta dari pertanian komersial. Dia juga memimpin upaya untuk menjaga dan menghutankan kembali area yang rusak akibat kegiatan pertambangan dan mendorong kemandirian ekonomi daerah dengan membangun ekonomi berbasis lokal yang berfokus pada pertanian berkelanjutan dan penjualan hasil karya lokal.
3.2. Beberapa Apresiasi
Pada bulan April 2013, Mama Aleta Baun, pejuang lingkungan hidup dari Kabupaten TTS-NTT menerima anugerah The Goldman Environmental Prize Award di San Fransisco, AS. Sejak saat itu, nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Aleta Baun secara local di kawasan gunung Mutis akhirnya mengglobal. Tidak sampai di situ, pada 2016, Mama Aleta Baun meraih penghargaan Yap Thiam Hien Award 2016 sebagai perempuan pejuang lingkungan dari Mollo-NTT. Pada Sabtu, 11 Maret 2017, hadiah uang dari The Goldman Environmental Prize 2013 bernilai US$ 150 ribu kemudian dialokasikan untuk menjadi dana abadi untuk pejuang wanita lainnya.
3.3. Peran Mama Aleta Dalam Politik
Melalui Partai Kebangkitan Bangsa  (PKB), Mama Aleta terpilih untuk menjadi anggota DPRD I Provinsi NTT Periode 2014-2019. Secara nasional, Mama Aleta terpilih dalam Jabatan Sekretaris DPP PKB  Bidang Lingkungan Hidup dan Pariwisata pada tahun 2019. Jalur politik baginya merupakan kesempatan untuk menjaga kesinambungan perjuangannya di bidang lingkungan hidup dan pariwisata.Â
4. Empat (4) Kunci Kesuksesan Mama Aleta Baun
Ira Manggilio (2015), seperti dikutip Benediktus Dalupe (2020) menulis bahwa Mama Aleta Baun menggunakan kepercayaan lokal mengenai hubungan masyarakat adat Mollo dengan alam. Hubungan keterikatan yang tak terbantahkan ini menjadi spirit Aleta dan rekan-rekannya untuk memprotes para penambang.