Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Agama Mencegah Sekolah Tidak Ekstrem sebagai Pelengkap Distribusi

29 September 2022   08:16 Diperbarui: 29 September 2022   08:17 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantin Sekolah (Sumber gambar: Gurusiana).

Beberapa saat lalu, pernah ada suara-suara untuk menghentikan Pelajaran Agama di sekolah. Pendidikan Agama diusulkan untuk diganti dengan Pendidikan Budi Pekerti saja. Pertanyaan saya, apakah ide untuk menghentikan Pendidikan Agama di sekolah tidak keliru? Bagi saya, ide itu sama saja dengan kita menggiring sekolah ke kehancuran moral. Hemat saya, jika Pendidikan Agama tidak lagi diajarkan di sekolah maka lembaga pendidikan telah masuk dalam ekstrem pelengkap distribusi. Jika demikian, lembaga pendidikan telah kehilangan tujuan hakikinya. Padahal sekolah-sekolah berkualitas kelas 1 dunia di Eropa dan AS menjadi sangat populer karena punya akarnya adalah Pendidikan Agama.

Pelbagai lembaga pendidikan di seluruh tanah air sedang terancam eksistensinya hanya karena perannya bukan sebagai pencetak manusia berkualitas untuk pembangunan, tetapi telah terdegradasi secara ekstrem menjadi lembaga pelengkap distribusi. Banyak hal yang tampak jelas adalah, di sekitar gedung sekolah kini terdapat banyak kantin dan kios-kios mini berisi penjualan berbagai barang konsumtif. Selain itu di lahan parkir, terbaca jelas bahwa para pelajar, mahasiswa dan guru berlomba-lomba untuk menggunakan kendaraan pribadi yang mahal. 

Lembaga sekolah juga sudah lama banyak diserbu para penjual buku dan penjual alat-alat Teknologi Informasi dan Komunikasi. Apalagi dalam masa krisis Covid-19 ini, para pelajar dan guru dibidik oleh banyak produsen untuk menjual pelbagai jenis HP, Komputer, dll  hingga masuk ke kelas.

Jika sekolah dilihat secara ekstrem sebagai pelengkap distribusi, maka resikonya adalah guru dan pelajar yang punya banyak uang dapat bersekolah. Selain itu, jika pendidikan agama tidak ada lagi maka pendidikan hati nurani di sekolah akan diabaikan. Tentu saja, para siswa yang lebih miskin tentu tidak dapat bersekolah karena tidak mampu membeli pelbagai barang distribusi. Meskipun telah dicegah, sekolah kian berkembang ke arah sifatnya sebagai pelengkap distribusi.

Kurikulum Merdeka harus memikirkan bagaimana cara-cara terbaik untuk mencegah agar sekolah tidak bertumbuh ekstrem sebagai pelengkap produksi. Oleh sebab itu, Kurikulum Merdeka harus memperketat aturan-aturan pembiayaan di dalam lembaga pendidikan. Juga sekolah harus mengatur belanjar siswa di sekolah melalui Wali Kelasnya. Juga pihak sekolah hendaknya tidak boleh mengijinkan para penjual barang-barang konsumtif masuk secara bebas ke dalam kelas dan ruang guru untuk menjual barang-barang dagangan mereka. 

Untuk kemadirian sekolah, sebaiknya kantin sekolah dikelola oleh OSIS saja. Kantin sekolah harus bersih, terukur dan layak.  Sehingga sekolah menjadi mandiri dalam perilaku konsumsi vital setiap hari. Ada banyak resko apabila kantin dikelola oleh para pedagang luar. Selain mematikan daya kreativitas siswa, kantin yang dikelola pedagang luar dapat menimbulkan efek negatif berupa munculnya banyak perilaku tidak tertib dari para siswa sekolah dan guru. 

Sekolah sebagai pelengkap distribusi makin kuat muncul sejak adanya dana BOS yang digulirkan pemerintah setiap tahun. Dana BOS milik sekolah yang diberikan pemerintah menjadi incaran banyak produsen luar untuk menjual barang-barang dagangan. Bukan hanya mereka ingin menjual pelbagai bahan bangunan, kendaraan bermotor, buku-buku cetak, peralatan TIK, tetapi juga lebih banyak adalah barang-barang konsumtif harian: makanan, minuman, pakaian, sepatu, alat-alat makan, dll. 

Untuk mencegah efek ekstrem sekolah sebagai pelengkap distribusi, maka pemerintah dan pengelola sekolah harus memikirkan jalan tengah (the middle way). Jalan tengah, antara lain sekolah harus tetap mempertahankan mata pelajaran (Mapel) Agama dan Etika. Mapel Agama bertujuan untuk mempertinggi iman dan pendidikan hati nurani melalui refleksi pribadi. 

Pendidikan Agama sebagai jalan tengah untuk mengatasi polemik distribusi di sekolah. Pendidikan Agama dapat mencegah sekolah tidak ekstrem bertumbuh ke arah pelengkap distribusi produksi dari luar institusi sekolah. Pendidikan Agama mementingkan pendidikan hati nurani. Hati nurani yang baik diperoleh dari iman, askese, olah tapa dan menahan diri dari konsumsi berlebihan. Kegiatan askese dan doa sebenarnya berada dalam ranah Pendidikan Agama sendiri. 

Pendidikan Agama yang baik menghantar siswa dan guru untuk menyadari bahwa lembaga pendidikan mengembleng manusia untuk punya hati nurani yang baik, mampu menahan diri, berpuasa dan berpantang, hidup hemat, dapat menabung dan memikirkan masa depan cerah. Untuk itu, Pendikan Agama adalah sandaran terakhir dalam iman dan sistem moralitas di sekolah. 

Tetapi Pendidian Agama juga tidak boleh ekstrem mencetak para siswa/guru untuk menjadi kecanduan agama. Pengalaman menunjukkan, Pendidikan Agama yang terukur dapat membuat iman dan moralitas para siswa menjadi tinggi. Iman dan moralitas yang tinggi bisa mencegah lembaga pendidikan menjelma ke ekstrem pelengkap distribusi. Semoga artikel ini bermanfaat bagi semua lembaga pendidikan di tanah air!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun