Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pandemi Covid-19 Bukan Sebagai Satu-Satunya "Faktor Pembunuh" Pendidikan

3 Agustus 2021   09:17 Diperbarui: 3 Agustus 2021   17:50 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di depan ruang bendahara sebuah Sekolah Dasar (SD) di desa Naitimu, Kab. Belu, Provinsi NTT, sebagai orang tua siswa, Tinus berdebat dengan bendahara sekolah itu. Karena ia dan beberapa orang tua murid SD itu harus membayar biaya Rp 45.000 untuk uang pendaftaran ulang. Sekolah itu punya 500 siswa/i. Hal itu berarti para pengelolanya mendapatkan lebih dari Rp 22 juta. Uang sejumlah itu saja belum termasuk biaya uang bulanan dan sumbangan pendidikan lainnya. "Anda jangan hanya menuntut uang, tetapi anak-anak tidak belajar. Sekarang kami hanya meminta agar anak-anak dapat belajar", kata Tinus. 

Sekolah-sekolah sepertinya sedang mengalami mati suri selama pandemi Covid-19 ini. Di semua daerah tertinggal, kondisi pendidikan selama pandemi mengalami titik buram. Ketika sekolah-sekolah diliburkan sama sekali, pembelajaran daring terbukti kurang berhasil. Terbengkalainya pendidikan anak-anak SD adalah kondisi yang disesalkan.

Anak-anak kelas 1 dan 2 SD, selama berbulan-bulan tidak diajarkan pelajaran membaca, berhitung dan menulis lagi. Tetapi mereka mungkin akan naik kelas pada akhir tahun ajaran nanti hanya karena telah membayar. Anehnya, mereka hanya sesekali datang ke sekolah untuk senam dan bersih-bersih sekolah. 

Berhentinya pembelajaran tatap muka di kelas karena pandemi bukan berarti para siswa tidak lagi membayar kewajiban uang sekolah. Anak-anak sekolah tetap membayar, termasuk membayar uang pendaftaran ulang. 

Pandemi Covid-19 adalah faktor yang 'mematikan pendidikan'. Tetapi untuk dunia pendidikan, 'kematian sekolah' bukan hanya diakibatkan oleh faktor pandemi Covid-19 saja. "Faktor pembunuh pendidikan" yang tak kalah ganasnya adalah faktor materialis.

Jauh-jauh hari, para ahli pendidikan sudah membunyikan sirene bahaya: sekolah-sekolah terancam mati jika para pengelolanya terlalu bersifat materialis. Mereka terlalu menekankan uang atau materi, tetapi mengabaikan hal-hal non material.

Selama pandemi Covid-19, hal non material paling utama yang diabaikan adalah proses belajar-mengajar di kelas. Di wilayah zone hijau, uang sekolah tetap dipungut dengan anak-anak tidak belajar di kelas. Faktor pengutamaan hal-hal material ditambah lagi dengan pandemi Covid-19 membuat dunia pendidikan terasa telah mati suri.

Tidak ada harapan untuk berbenah diri selain kita mengharapkan pandemi Covid-19 segera pergi. Para pengelola pendidikan harus membaharui diri untuk tidak lagi bersikap terlalu materialis dan mengabaikan hal-hal non material. Tetapi harapan kita ini cukup sulit terjadi lagi di masa depan. 

Saat ini dan masa depan, pembelajaran hanya terjadi kurang dari setengahnya dalam dunia digital dengan beban biaya tambahan yang tinggi. Dalam kondisi pandemi, para pengelolanya tetap menjual pendidikan dan mengabaikan pembelajaran tatap muka. Pada akhir tahun ajaran mereka yang telah membayar diluluskan. Perkara mutu pendidikan dianggap sebagai urusan belakangan yang penting sekarang dapat duit, dan matilah pendidikan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun