Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menggalang Kemitraan yang Setara dan Harmonis antara Militer dan Sipil

6 Oktober 2017   03:42 Diperbarui: 6 Oktober 2017   05:56 1940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemitraan dan kesejajaran (Foto:Pixabay.com)

Salah satu keberhasilan nyata misi pemerintahan Joko Widodo ialah keberhasilan Presiden Joko Widodo menggalang kerja sama yang harmonis dan setara antara pemerintahan sipil dan militer. Di mana-mana pemerintahan sipil dan militer bahu-membahu dalam melakukan blusukan. Dengan paradigma blusukan, pemerintahan Joko Widodo telah memadukan kerja sama yang harmonis dalam tubuh pemerintahannya baik sipil maupun militer. Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Drs Mohamad Yusuf Kalla  juga giat membangun paradigma bahwa rakyatlah yang memegang kedaulatan tertinggi dalam negara bukan para pemimpin militer atau para pemimpin sipil.

Dalam sejarah pemerintahan Indonesia, pernah terjadi adanya bentuk pemerintahan dengan supremasi sipil dan supremasi pemerintahan militer dalam negara. Dalam zaman Orde Lama, Pemerintahan Soekarno dianggap telah mendominasi negara dan militer sehingga dengan alasan Supersemar, pemerintahan militer yang dikomandani Jenderal TNI Soeharto melakukan perebutan kekuasaan. Setelah itu selama 32 tahun, pemerintahan militer mendominasi pemerintahan dalam negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. 

Orde Baru berusaha untuk membangun image bahwa pemerintahan militer itu menguasai atau mensupremasi pemerintahan sipil. Pemerintahan sipil tunduk di bawah pemerintahan militer. Ternyata paham seperti itu hanya berumur 32 tahun atau tidak terlalu bertahan lama. Pemerintahan militer dalam Orde Baru akhirnya runtuh juga. 

Pemerintahan negara adalah pemerintahan yang tertinggi, dengan 3 unsur pokoknya yakni rakyat, wilayah dan pemerintahan serta pengakuan negara-negara lainnya. Oleh karena negara adalah bentuk organisasi maka ada peraturan dan pemerintahan serta badan pegawas untuk menjalankan dan mengawasi peraturan negara. 

Bagi negara Indonesia tidak menerima adanya supremasi pemerintahan sipil atas militer dalam negara begitupun sebaliknya. Pemerintahan sipil dan pemerintahan militer bagi bangsa Indonesia adalah satu-kesatuan yang menggalang kerukunan, persatuan dan kebersamaan untuk mengusahakan hal-hal terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia.  

Dengan kata lain, pemerintahan sipil dan pemerintahan militer di Indonesia ialah kekuatan yang sederajat dan saling mendukung serta saling menopang. Tidak ada yang menguasai dan mendominasi satu sama lain. 

Dalam sejarah Indonesia, rezim Orde Baru telah menanamkan pengertian supremasi militer atas sipil dalam negara. Segala sesuatu tidak digunakan cara sipil yakni musyawarah untuk mufakat bersama-bersama namun perintah-perintah dan komando-komando. Rakyat bagaikan bawahan yang hanya menjalankan komando-komando atasan. 

Dahulu dengan dwifungsi ABRI, tentara menguasai pemerintahan sipil dan militer. Sejak 1959 hingga keruntuhan Orde Baru, para perwira militer menguasai pemerintahan baik pusat dan daerah. Bersamaan dengan rezim Soeharto, para perwira militer juga menguasai lembaga-lembaga negara seperti DPR dan MPR. Selama 32 tahun, rezim militer Orde baru dengan para perwira militer mendominasi semua segi dalam pemerintahan negara.

ABRI kembali ke barak setelah rezim Orba runtuh di mana dwifungsi ABRI dicabut. Masuk ke era Reformasi, kedigdayaan militer dalam hal ini ABRI/TNI telah usai. Sejak itu nyaris tiada hari tanpa hujatan dan caci maki terhadap ABRI. Jika sebelumnya tidak ada yang berani mengusik, sejak itu keberadaan ABRI mulai banyak dipersoalkan. ABRI bukan cuma dipersalahkan karena telah membuat banyak orang di Jawa, Sumatera, Aceh, Lampung, Maluku, Sulawesi, NTT, Tanjung Priok, Irian Jaya dan Timor Timur (dan semua pelosok Indonesia), dibunuh karena simpatisan PKI dan kehilangan anggota keluarganya, tetapi juga karena terlibat penculikan para mahasiswa dan aktivis politik. ABRI dianggap tidak mampu lagi mengatasi kerusuhan di berbagai tempat yang telah menelan korban ratusan nyawa sejak Mei 1998.

Buntut dari itu, saat ini ABRI harus menghadapi kenyataan sebaliknya yakni penolakan atas keterlibatannya. Padahal secara historis keterlibatan ABRI tersebut harus dipahami dalam kerangka menjamin stabilitas nasional. Bangsa dan negara manapun di dunia ini membutuhkan stabilitas demi pembangunan dan kemajuan bersama rakyatnya.

Kemarin,  TNI merayakan HUT ke-72. Boleh dikatakan bahwa umur 72 tahun adalah umur yang telah semakin matang. Berbagai pengalaman perang telah dialami TNI silih berganti, mulai dari pertempuran melawan serangan pasukan Belanda dan Sekutu, pertempuran menumpas berbagai pemberontakan, pertempuran merebut Irian Jaya, Konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura, Operasi Seroja dan berbagai misi pasukan perdamaian PBB. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun