Mohon tunggu...
Taufik AAS P
Taufik AAS P Mohon Tunggu... Penulis - jurnalis dan pernah menulis

menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature

Mamuju Utara, Kabupaten Dengan Ancaman Kerusakan Alam Tingkat Tinggi?

9 April 2013   14:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:28 1373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13669187891995845800

[caption id="attachment_250132" align="aligncenter" width="1238" caption="Lokasi Perluasan Kebun Sawit di Mamuju Utara (google Maps)"][/caption] Catatan  Untuk HUT Ke- 10 Kabupaten Mamuju Utara (Bagian II) Kabupaten Mamuju Utara  memiliki  luas  304. 375 Ha, dengan  kawasan hutan yang luas,  dua sungai  besar, Sungai Lariang dan Sungai Pasangkayu. Kondisi alam yang ideal ini memungkinkan  kabupaten yang  beribukota  Pasangkayu ini menjadi daerah penyangga kelestarian ekosistem sumber daya hayati di Pulau Sulawesi, dengan aneka ragam flora dan fauna yang dimiliki.

Menurut masyarakat lokal Bunggu/Binggi yang banyak mendiami  lereng-lereng bukit di Mamuju Utara, potensi  hasil hutan daerah daerah ini cukup terkenal  kemana-kemana, seperti  rotan, kayu Palapi dan kayu uru.  Juga memiliki potensi sumber pangan masyarakat lokal berupa hutan-hutan sagu. Sungai-sungai kecil yang bermuara pada Sungai Lariang dan Sungai Pasangkayu, seperti  Sungai Moi, Sungai Ngovi dan Sungai Bayu, selain sebagai sumber air bersih alur transportasi bagi masyarakat juga menyimpan aneka ragam jenis-jenis ikan yang menjadi sumber protein bagi mereka.

Setelah era tahun 1990-an, daerah yang dulu terkenal dengan julukan “Nipasangkayu”  atau “Sepasangkayu” menjadi “terbuka” bagi perkebunan sawit. Menjadi tidak asinglah bagi masyarakat Bunggu, Astra Agro Lestari (AAL)  yang menjadi bendera dari  PT. Pasangkayu, PT. Mamuang, PT. Lettawa dan  PT Surya Jaya Lestari, satu manajemen Korporasi  PT. Astra.  Ada juga PT. Unggul  Widya Lestari yang membenamkan sahamnya dalam bisnis perkebunan besar sawit di Mamuju Utara.

Selain membuka perkebunan besar sawit, perusahaan-perusahaan ini mendirikan pabrik Crude Palm Oil (CPO).  Pabrik-pabrik CPO ini memiliki buangan limbah B3, seperti  oli bekas dan semacamnya. Selain itu, memiliki juga limbah padat dan cair dari sisa pengolahan pabrik. Limbah-limbah buangan tersebut secara  terus  menerus mempengaruhi kondisi tanah, air dan udara di sekitar pabrik. Walaupun menurut pihak perusahaan, sebahagian limbah-limbah pabrik itu dijadikan pupuk bagi sawit.

Pihak perusahaan sawit juga telah memberi  jaminan dengan sistem pengolahan limbah yang mutakhir, namun yang  nampak pada sungai-sungai di seputar pabrik CPO, seperti di Sungai Bayu, Sungai Pedanda, Sungai Moi dan Sungai Pasangkayu, berbagai jenis ikan lokal seperti ikan Mas dan Sidat/Moa, masyarakat setempat menyebutnya dengan “Massapi”  telah menghilang. Sungai-sungai  ini juga sepanjang  tahun berair keruh dan coklat.

Dan bukan itu saja, Sungai Lariang – sungai  legendaris, terbesar dan  dan terpanjang Pulau Sulawesi. Dulunya adalah sungai yang bermanfaat bagi masyarakat, untuk jalur trasnportasi, pengairan dan sumber air untuk keperluan mandi dan cuci. Kini sungai yang bermuara di Napu, Kab. Poso, Provinsi Sulteng, setiap tahunnya adalah ancaman bagi masyarakat di Kecamatan Lariang, Tikke Raya, Pedongga dan Kecamatan Pasangkayu. Ada ratusan hektar lahan masyarakat yang sudah tergerus oleh ganasnya arus Sungai Lariang kala musim hujan.

Menurut masyarakat yang ada di Desa Bambakoro dan Desa Kulu, Kec. Lariang,  sudah ratusan hektar lahan mereka hilang oleh banjir bandang akibat meluapnya Sungai Lariang. Walaupun tidak menuding adanya perkebunan sawit sejak tahun 1990-an, namun masyarakat  heran. Jauh-jauh sebelum adanya kebun-kebun sawit  yang berada di  seputaran aliran Sungai Lariang, mereka tidak mengenal yang namanya banjir bandang. Aktivitas sungai Lariang sebelum tahun 1990-an normal-normal saja dan tidak membahayakan.

Kondisi alam Mamuju Utara yang sudah mulai “marah” dan tidak bersahabat pada manusianya, seyogyanya  lebih banyak dipengaruhi oleh perbuatan manusia yang tidak memperhatikan keseimbangan alam. Apakah itu karena perbuatan masyarakat  Mamuju Utara atau ulah dari pemilik modal yang membuka perkebunan besar.  Patut dicatat, bahwa masyarakat juga kadang merusak alam dengan merambah hutan lindung, berladang di bantaran sungai, tapi itu dalam ukuran yang lebih kecil.  Sedangkan  menurut sumber pada Dinas Kehutanan Mamuju Utara,  dari total luas Kabupaten Mamuju Utara 304. 375 Ha, sebanyak  37% telah dibebaskan untuk  HGU, tanah milik masyarakat dan  tanah milik pemerintah. Dari 37% tersebut, 90% adalah HGU yang dikelolah oleh perkebunan besar sawit. Jadi perbandingan tingkat kemungkinan perusakan alam antara pemilik HGU dengan masyarakat dan pemerintah, 90% berbanding 10%.

Upaya pemerintah Kabupaten Mamuju Utara untuk memperbaiki  kondisi alam yang sudah mulai mengancam masyarakat memang tetap ada. Misalnya  untuk penanggulangan banjir dengan membangun  pintu air di Desa Pedanda, perkuatan tebing Sungai Lariang oleh BBWS Pompengan  - Jeneberang untuk  mengantisipasi luapan Sungai Lariang. Juga telah dilakukan  reklamasi mangrove dengan menggandeng perusahaan sawit.  Namun itu masih jauh dari tingkat kerusakan alam yang terus menerus terjadi dan berkelanjutan.

Pemerintah Kabupaten Mamuju Utara bahkan tidak memiliki nilai tawar yang kuat untuk mendorong perusahaan-perusahaan sawit tersebut untuk menjaga kelestarian alam. Padahal sebelum pembukaan HGU areal perkebunan besar tersebut,  Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (ketika itu masih Kab. Mamuju, Daerah TK I Sulsel)  mengingatkan kepada perusahaan-perusawaah sawit  tersebut untuk tetap menjaga kelestarian alam. Tidak melakukan penanaman 100 meter kiri-kanan sungai, tanah pada kemiringan 40 derajat tetap dilestarikan, tidak ditanami sawit, itu tidak diindahkan.  Bahkan morfologi tanahpun dirombak, bukit-bukit dalam kawasan HGU pada kemiringan diatas 40 derajat digunduli dan ditanami, tanah timbunan untuk jalan-jalan perusahaan diambil juga dari bukit-bukit  itu. Seharusnya ada isin tambang galian C dari pemerintah kabupaten.  Seperti  juga pemanfaatan Air Permukaan Tanah (APT) dan Air Bawah Tanah (ABT) oleh perusahaan , harus mendapat legalitas dari pemerintah daerah. Ini demi menambah pasokan PAD.

Keengganan pemerintah daerah Mamuju Utara terhadap perusahaan-perusahaan sawit  untuk memberlakukan aturan sebagaimana mestinya, apakah itu disebabkan oleh penilaian bahwa ribuan orang Mamuju Utara yang terserap sebagai tenaga kerja --  bekerja sebagai buruh saja --  atau  karena pola kemitraan yang diterapkan pihak perusahaan terhadap koperasi dan kelompok petani sawit. Ini tentunya memberi dampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat.  Entahlah, karena dalam pemantauan di lapangan oleh Forum Wartawan Mamuju Utara (Format) dan LSM Tim Sembilan Nasional, secara kuantitatif perusahaan sawit belum memberikan kontribusi  yang signifikan terhadap kesejahteraan pada masyarakat  Mumuju Utara.

Ketua Format,  Adam Kawilarang dan Gusti M. Ali dari LSM Tim Sembilan Nasional melihat masyarakat lokal Bunggu, masih tetap termaginalkan oleh kehadiran perkebunan besar sawit tersebut. Keduanya melihat bahwa hanya orang-orang terbataslah yang hidup sejahtera dari keberadaan sawit itu. Itu diperbadingkan dengan prosentasi masyarakat Mamuju Utara yang memiliki kebun sawit. Makanya Format dan Tim Sembilan Nasional, bekesimpulan bahwa hanya “tampias” dari keuntungan perusahaan sawit untuk kesejahteraan bagi orang terbatas di Mamuju Utara.

Artikel ini didedikasikan kepada masyarakat lokal Bunggu di Desa Pakava/Bamba Apu dan Ngovi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun