[caption id="attachment_250132" align="aligncenter" width="1238" caption="Lokasi Perluasan Kebun Sawit di Mamuju Utara (google Maps)"][/caption] Catatan Untuk HUT Ke- 10 Kabupaten Mamuju Utara (Bagian II) Kabupaten Mamuju Utara memiliki luas 304. 375 Ha, dengan kawasan hutan yang luas, dua sungai besar, Sungai Lariang dan Sungai Pasangkayu. Kondisi alam yang ideal ini memungkinkan kabupaten yang beribukota Pasangkayu ini menjadi daerah penyangga kelestarian ekosistem sumber daya hayati di Pulau Sulawesi, dengan aneka ragam flora dan fauna yang dimiliki.
Menurut masyarakat lokal Bunggu/Binggi yang banyak mendiami lereng-lereng bukit di Mamuju Utara, potensi hasil hutan daerah daerah ini cukup terkenal kemana-kemana, seperti rotan, kayu Palapi dan kayu uru. Juga memiliki potensi sumber pangan masyarakat lokal berupa hutan-hutan sagu. Sungai-sungai kecil yang bermuara pada Sungai Lariang dan Sungai Pasangkayu, seperti Sungai Moi, Sungai Ngovi dan Sungai Bayu, selain sebagai sumber air bersih alur transportasi bagi masyarakat juga menyimpan aneka ragam jenis-jenis ikan yang menjadi sumber protein bagi mereka.
Setelah era tahun 1990-an, daerah yang dulu terkenal dengan julukan “Nipasangkayu” atau “Sepasangkayu” menjadi “terbuka” bagi perkebunan sawit. Menjadi tidak asinglah bagi masyarakat Bunggu, Astra Agro Lestari (AAL) yang menjadi bendera dari PT. Pasangkayu, PT. Mamuang, PT. Lettawa dan PT Surya Jaya Lestari, satu manajemen Korporasi PT. Astra. Ada juga PT. Unggul Widya Lestari yang membenamkan sahamnya dalam bisnis perkebunan besar sawit di Mamuju Utara.
Selain membuka perkebunan besar sawit, perusahaan-perusahaan ini mendirikan pabrik Crude Palm Oil (CPO). Pabrik-pabrik CPO ini memiliki buangan limbah B3, seperti oli bekas dan semacamnya. Selain itu, memiliki juga limbah padat dan cair dari sisa pengolahan pabrik. Limbah-limbah buangan tersebut secara terus menerus mempengaruhi kondisi tanah, air dan udara di sekitar pabrik. Walaupun menurut pihak perusahaan, sebahagian limbah-limbah pabrik itu dijadikan pupuk bagi sawit.
Pihak perusahaan sawit juga telah memberi jaminan dengan sistem pengolahan limbah yang mutakhir, namun yang nampak pada sungai-sungai di seputar pabrik CPO, seperti di Sungai Bayu, Sungai Pedanda, Sungai Moi dan Sungai Pasangkayu, berbagai jenis ikan lokal seperti ikan Mas dan Sidat/Moa, masyarakat setempat menyebutnya dengan “Massapi” telah menghilang. Sungai-sungai ini juga sepanjang tahun berair keruh dan coklat.
Dan bukan itu saja, Sungai Lariang – sungai legendaris, terbesar dan dan terpanjang Pulau Sulawesi. Dulunya adalah sungai yang bermanfaat bagi masyarakat, untuk jalur trasnportasi, pengairan dan sumber air untuk keperluan mandi dan cuci. Kini sungai yang bermuara di Napu, Kab. Poso, Provinsi Sulteng, setiap tahunnya adalah ancaman bagi masyarakat di Kecamatan Lariang, Tikke Raya, Pedongga dan Kecamatan Pasangkayu. Ada ratusan hektar lahan masyarakat yang sudah tergerus oleh ganasnya arus Sungai Lariang kala musim hujan.
Menurut masyarakat yang ada di Desa Bambakoro dan Desa Kulu, Kec. Lariang, sudah ratusan hektar lahan mereka hilang oleh banjir bandang akibat meluapnya Sungai Lariang. Walaupun tidak menuding adanya perkebunan sawit sejak tahun 1990-an, namun masyarakat heran. Jauh-jauh sebelum adanya kebun-kebun sawit yang berada di seputaran aliran Sungai Lariang, mereka tidak mengenal yang namanya banjir bandang. Aktivitas sungai Lariang sebelum tahun 1990-an normal-normal saja dan tidak membahayakan.
Kondisi alam Mamuju Utara yang sudah mulai “marah” dan tidak bersahabat pada manusianya, seyogyanya lebih banyak dipengaruhi oleh perbuatan manusia yang tidak memperhatikan keseimbangan alam. Apakah itu karena perbuatan masyarakat Mamuju Utara atau ulah dari pemilik modal yang membuka perkebunan besar. Patut dicatat, bahwa masyarakat juga kadang merusak alam dengan merambah hutan lindung, berladang di bantaran sungai, tapi itu dalam ukuran yang lebih kecil. Sedangkan menurut sumber pada Dinas Kehutanan Mamuju Utara, dari total luas Kabupaten Mamuju Utara 304. 375 Ha, sebanyak 37% telah dibebaskan untuk HGU, tanah milik masyarakat dan tanah milik pemerintah. Dari 37% tersebut, 90% adalah HGU yang dikelolah oleh perkebunan besar sawit. Jadi perbandingan tingkat kemungkinan perusakan alam antara pemilik HGU dengan masyarakat dan pemerintah, 90% berbanding 10%.
Upaya pemerintah Kabupaten Mamuju Utara untuk memperbaiki kondisi alam yang sudah mulai mengancam masyarakat memang tetap ada. Misalnya untuk penanggulangan banjir dengan membangun pintu air di Desa Pedanda, perkuatan tebing Sungai Lariang oleh BBWS Pompengan - Jeneberang untuk mengantisipasi luapan Sungai Lariang. Juga telah dilakukan reklamasi mangrove dengan menggandeng perusahaan sawit. Namun itu masih jauh dari tingkat kerusakan alam yang terus menerus terjadi dan berkelanjutan.
Pemerintah Kabupaten Mamuju Utara bahkan tidak memiliki nilai tawar yang kuat untuk mendorong perusahaan-perusahaan sawit tersebut untuk menjaga kelestarian alam. Padahal sebelum pembukaan HGU areal perkebunan besar tersebut, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (ketika itu masih Kab. Mamuju, Daerah TK I Sulsel) mengingatkan kepada perusahaan-perusawaah sawit tersebut untuk tetap menjaga kelestarian alam. Tidak melakukan penanaman 100 meter kiri-kanan sungai, tanah pada kemiringan 40 derajat tetap dilestarikan, tidak ditanami sawit, itu tidak diindahkan. Bahkan morfologi tanahpun dirombak, bukit-bukit dalam kawasan HGU pada kemiringan diatas 40 derajat digunduli dan ditanami, tanah timbunan untuk jalan-jalan perusahaan diambil juga dari bukit-bukit itu. Seharusnya ada isin tambang galian C dari pemerintah kabupaten. Seperti juga pemanfaatan Air Permukaan Tanah (APT) dan Air Bawah Tanah (ABT) oleh perusahaan , harus mendapat legalitas dari pemerintah daerah. Ini demi menambah pasokan PAD.
Keengganan pemerintah daerah Mamuju Utara terhadap perusahaan-perusahaan sawit untuk memberlakukan aturan sebagaimana mestinya, apakah itu disebabkan oleh penilaian bahwa ribuan orang Mamuju Utara yang terserap sebagai tenaga kerja -- bekerja sebagai buruh saja -- atau karena pola kemitraan yang diterapkan pihak perusahaan terhadap koperasi dan kelompok petani sawit. Ini tentunya memberi dampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Entahlah, karena dalam pemantauan di lapangan oleh Forum Wartawan Mamuju Utara (Format) dan LSM Tim Sembilan Nasional, secara kuantitatif perusahaan sawit belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan pada masyarakat Mumuju Utara.
Ketua Format, Adam Kawilarang dan Gusti M. Ali dari LSM Tim Sembilan Nasional melihat masyarakat lokal Bunggu, masih tetap termaginalkan oleh kehadiran perkebunan besar sawit tersebut. Keduanya melihat bahwa hanya orang-orang terbataslah yang hidup sejahtera dari keberadaan sawit itu. Itu diperbadingkan dengan prosentasi masyarakat Mamuju Utara yang memiliki kebun sawit. Makanya Format dan Tim Sembilan Nasional, bekesimpulan bahwa hanya “tampias” dari keuntungan perusahaan sawit untuk kesejahteraan bagi orang terbatas di Mamuju Utara.
Artikel ini didedikasikan kepada masyarakat lokal Bunggu di Desa Pakava/Bamba Apu dan Ngovi