Contoh lain dari PPP adalah pada saat pemerintah membangun MRT di Indonesia. Mass Rapid Transit atau MRT dibangun dengan harapan membantu dan menambah kenyamanan masyarakat dengan mempersingkat waktu perjalanan dari suatu daerah ke daerah yang lain. Pembangunan MRT dibiayai oleh pemerintah, sekaligus bekerja sama Jepang. Jepang memberi pinjaman dana melalui perantara JICA atau Japan International Cooperation Agency. Untuk pembangunan fase I, pemerintah Indonesia mendapat anggaran dari JICA sebesar 70,21 miliyar Yen, atau sekitar Rp 9,4 triliun. Selanjutnya, pemerintah Indonesia mendapat anggaran sebesar 217 miliar Yen yang setara dengan Rp 25 triliun untuk mendanai fase II.
Umumnya, biaya-biaya ini digunakan untuk kepentingan masyarakat. Namun sayangnya, seringkali sumber-sumber pembiayaan ini, bukannya digunakan untuk membiayai kegiatan yang seharusnya dibiayai, melainkan digunakan secara semena-mena dan disalah gunakan seperti untuk korupsi. Di Indonesia sering terjadi kasus-kasus penyalah gunaan seperti ini.
Salah satu contoh dari kasus korupsi sumber pembiayaan konvensional adalah penyalahgunaan yang dilakukan oleh Bupati Cilacap pada selama tahun 2004-2008. Selain mengkorupsi APBD senilai Rp 20,7 miliyar, Bupati Cilacap ini juga Dana Alokasi Khusus  (DAK) bidang kesehatan senilai RP 1,5 miliyar dan kas daerah Cilacap sebesar Rp 4,1 miliyar dan masih banyak lagi. Contoh lain dari penyalah gunaan sumber pembiayaan konvensional adalah kasus korupsi e-KTP. Biaya yang habis dari projek e-KTP mencapai lebih dari Rp 2 triliun.
Anggaran-anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat pun akhirnya masuk ke dalam kantung penjabat-penjabat yang korup. Efek dari penyalah gunaan anggaran tersebut tidak hanya menghambat jalannya pendanaan satu pembangunan dalam skala kecil, melainkan berpengaruh ke pembiayaan pembangunan-pembangunan lainnya.