Mohon tunggu...
Irene Kusuma
Irene Kusuma Mohon Tunggu... Penulis - Isaiah 55 : 8-9

Communication Studies' 16 Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"Thank You 2018 for The Sweetest Scars"

29 Desember 2018   23:59 Diperbarui: 30 Desember 2018   00:06 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.unsplash.com

Siapa sangka hari libur yang dinanti para mahasiswa tampak begitu biasa saja semester ini? Bahkan bisa dibilang tidak menarik sama sekali. Kali ini berbeda dengan semester-semester sebelumnya.

Perjalanan Yogyakarta -- Kediri terasa sungguh asing. Kulewati jalur yang tak pernah kulewati sebelumnya, ditemani sebuah buku dengan bahasa yang sulit kucerna. Duduk di posisi yang sama dengan hari itu, membuatku semakin tak bersemangat. Alunan lagu sekuler rupanya tak memperbaiki mood-ku, bahkan memperkeruh.

Kediri, semuanya tampak asing bagiku. Stasiun yang tak lebih besar daripada stasiun di kota asalku, ditambah dengan terik matahari yang semakin tak wajar. Aku hanya dua hari di sana -- sebelum akhirnya berhasil meyakinkan diri sendiri dan memantapkan hati untuk pulang ke rumah yang sesungguhnya, di Mojokerto

Sepanjang perjalanan, kepalaku terasa penuh dengan ribuan pemikiran dan pertanyaan akan masa depan -- tak ada satupun yang punya jawabannya. Begitu juga diriku. Ah, benar. Tuhan punya jawabannya -- yang tak Dia beritahu padaku dalam waktu-waktu dekat ini -- bahkan dalam waktu yang lama, membiarkanku sibuk memikirkannya, kumohon jangan hilang kewarasanku.

Aku tiba di Mojokerto pada malam hari. Mojokerto bukanlah kota yang besar. Jadi hanya butuh beberapa waktu dan kau sudah bisa berjalan mengelilingi kota ini. Dan, tidak sopannya berjuta kenangan yang bahkan tak sengaja kulupakan, kembali begitu saja -- bahkan kenangan yang masih kuingat, ikut-ikut mendatangiku seakan mengucapkan selamat datang. Bolehkah aku mengumpat? Ah, tidak usah. Biar aku simpan sendiri.

Sesampainya di rumah, disambut dengan kengerian. Bahkan, aku tak ingat kapan terakhir aku merasakan suasana "rumah yang hidup". Yang ada hanya sebuah rumah, kosong, dingin, berdebu, gelap, dan yang jelas tidak ada satupun orang di sana. Jadi kuingat pertama kali kami sekeluarga datang untuk melihat rumah ini sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumah ini -- 7 atau 8 tahun yang lalu.

Aku tidak takut untuk tinggal sendirian. Aku hanya takut pada kenyataan yang mengharuskan aku untuk tinggal sendiri. Aku merindukan kehangatan rumahku yang dulu, rutinitas yang biasa kita lakukan sebagai sebuah keluarga. Aku merindukan makan masakan mama, aku merindukan perdebatan dengan papa mengenai realitas dari reality show Rumah Uya, atau kenangan masa lalu mengenai koko yang dikunci di kamar mandi saat SD karena main di luar rumah terlalu lama, atau bahkan kenangan lama sekali saat kami berempat naik satu sepeda motor mengelilingi kota sore hari? Bahkan sekarang, akupun sendiri merasakan betapa kikuknya ketika mendengar para temanku saling menceritakan keluarga mereka. Ah, betapa menyenangkannya. Bahkan akupun tak bisa memaksa diriku untuk masuk ke dalam obrolan mereka.

Desember, tahun 2018 -- untuk pertama kalinya aku gagal merasakan suasana natal dalam hidupku dan aku tidak tahu akan sampai kapan seperti ini. Tanggal 25 berganti dan berlalu begitu saja. Maafkan aku, tapi aku memang tidak bisa memaksa diriku untuk pura-pura bahagia -- karena aku (sedang) tidak bahagia. Tapi percayalah, aku menghargai kelahiran-Mu Yesus.

Life must goes on -- kata mereka. Aku tahu. Bumi akan terus berputar -- tanpa peduli peristiwa apa yang terjadi -- kesedihan apa yang dirasakan para penghuninya atau kebahagiaan apa yang baru mereka dapatkan -- bumi akan selalu berputar. Aku mempercayai siapa Tuhanku, tapi untuk anak usia 20 tahun yang ditinggal orang tuanya, kekhawatiran itu hal yang wajar bukan? Sekali lagi, untuk pertama kalinya aku merasakan ketakutan akan melewati pergantian tahun -- bagaikan berjalan di sebuah jembatan dengan jurang di bawahnya tanpa memiliki pegangan di kedua sisinya. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya ketika jembatan itu harus diterpa angin yang menyebabkannya bergoyang? Aku harus tetap berjalan untuk sampai ke sebrang walaupun mungkin akan memakan waktu yang lama karena (akan) terlalu sering berhenti ketika terpaan angin datang, walaupun sebenarnya akupun ingin melompat saja ke sisinya dan berakhir mengenaskan.

Saat ini, aku memutuskan untuk menuliskan tulisan ini ketika kepalaku tak mampu lagi memikirkan hal yang bahkan aku sendiri tak mengerti. Kepalaku seakan penuh dengan banyak hal, tapi akupun tak mengetahui apa itu. Yang aku tahu, kerinduanku akan kedua orang tuaku sungguh besar, walaupun aku memiliki pemikiran "Jahat ngga sih kalian berdua ninggalin aku sendirian?".

Irene yang selama ini kalian lihat adalah Irene yang memaksa dirinya untuk hidup sesuai dengan ekspektasi kalian. Irene yang kuat. Irene yang ceria. Sampai akhirnya, dia lebih memilih untuk menangis di dalam kesendiriannya daripada di hadapan kalian. Kalau pada akhirnya dia menangis di depan kalian, itu artinya kalian beruntung. Kalau Irene datang ke kalian, aku mohon bersabarlah. Jangan menghindar, diam saja karena saat itu dia hanya butuh seorang teman. Seorang pendengar. Tidak, Irene tidak sedang membutuhkan penasihat -- karena dia sendiri tahu harus bagaimana. Harus (pura-pura) kuat kan? Tubuhku masih bernyawa memang, tapi entah berjiwa atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun