Mohon tunggu...
gufron afandi
gufron afandi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa

terus maju dan bangkit lagi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jangan Takut Berpikir?

28 November 2020   23:51 Diperbarui: 28 November 2020   23:54 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ketakutan. (Desainer) 

Saya awali tulisan yang jauh dari kesempurnaan ini dengan pengklarifikasian tentang ketakutan yang tertanam dalam setiap individu untuk berfikir mengenai kebenaran yang selama ini di percaya. Apakah kebenaran yang diyakini selama ini itu memang benar atau malah sebaliknya?

Manusia diciptakan tuhan dengan keadaan yang begitu unik dan sangat berbeda dengan makhluk lainnya. Makhluk selain manusia diciptakan oleh tuhan tanpa kemampuan untuk berfikir ataupun menganalisa, sehingga dia tidak mampu untuk memilih bahkan tidak ada keinginan untuk memilih, semua kehidupannya dia lalui bagaikan air yang mengalir. 

Sedangkan manusia diciptakan oleh tuhan dengan kemampuan berfikir dan dapat memilih kehendaknya sesuai apa yang diinginkan. Kebebasan berkehendak itulah yang membuat manusia dapat melebihi malaikat dalam hal kebaikan atau melebihi iblis dalam hal keburukan.

Namun, kemampuan tersebut kadang tidak dimanfaatkan dengan baik oleh sebagian manusia, mereka yang mampu berfikir kadang tidak menggunakan akalnya untuk menganalisa dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan atau dinamika hukum yanng berlaku ditatanan kehidupan. Lantas apa yang akan terjadi jika kita terlalu memperbudak kebenaran?.

Mari kita urai bersama. Pernahkah kita menanyakan apakah kebenaran yang kita yakini itu sudah benar?. Contoh saja Tuhan. setidaknya, secara global tuhan dapat diklasifikasi menjadi 2 bagian yang terpisah. Pertama, Tuhan yang menciptakan. Kedua, tuhan yang diciptakan.

Tuhan jenis pertama merupakan Tuhan dengan 'T' besar, yang berarti Tuhan yang benar serta menjadi keharusan untuk disembah, dipuja dan dipuji. Dia adalah awal sekaligus akhir. Suatu dzat yang didambakan sepanjang huru-hara sejarah manusia.

Tuhan jenis ini menjadi sumber kekuatan dan harapan serta sumber kebaikan, inspirasi, motivasi, petunjuk untuk membangun sebuah tatanan terbaik memilih hidup yang baik di dunia yang penuh dengan gejolak, ketidakmenentuan dan kekacauan.

Sedangkan tuhan jenis kedua diawali dengan 't' kecil. tuhan jenis kedua ini merupakan tuhan perumpamaan, sengaja dibuat untuk melangsungkan ritual keagaamaan. 

Tuhan perumpamaan, seperti jenis kedua ini biasanya tidak bisa menghasilkan manfaat ataupun mudharat. Hal tersebut sudah terjadi pada zaman nabi Ibrahim, yang dengan sengaja menghancurkan patung-patung (berhala) yang diperumpamakan dengan tuhan. Namun apa yang terjadi? tuhan tersebut (patung-patung) tidak membalas tindakan Nabi Ibrahim. 

Dari poin diatas dapat disimpulkan bahwa tuhan jenis kedua hanyalah sebatas simbol keagamaan, bukan tuhan yang menjadi sumber kekuatan, harapan serta sumber kebaikan, inspirasi ataupun motivasi. 

Namun permasalahannya pernahkah kita berfikir dan mengkritisi tentang kebenaran yang selama ini kita pegang (dogma, warisan dan ideologi) tentang Tuhan. 

Saya rasa, Tuhan tidak hanya membenci kemunafikan dalam bertindak, tetapi juga membenci terhadap kemunafikan dalam berfikir. Yaitu takut untuk mencari kebenaran yang selama ini dipegangnya, toh manusia diciptakan dengan kemampuan berfikir. 

Dari itulah seharusnya manusia dengan kemampuannya berani bernalar dan menelanjangi kebenaran yang hanya di yakini melalui jalan dogmatis. Bisa sajakan, keyakinan terhadap Tuhan yang selama ini kita pegang merupakan kepentingan kelompok tertentu untuk dijadikan ladang bisnis dan berpolitik, misalnya. Mengapa kita tidak pernah mengkritisi akan hal itu untuk mencari kebenaran?

Banyak orang yang menganggap sesuatu itu benar dan itu salah. Tapi pernahkah seseorang memberi argumentasi tentang anggapannya yang benar dan yang salah itu? Saya rasa tidak, sehingga argumen tentang anggapannya yang benar dan yang salah itu selalu berujung pada argumen "pokoknya, intinya". 

Hingga pada akhirnya kebenaran semacam itu hanyalah sebatas dogma, Warisan dan ideologi bukan kebenaran melalui pencarian dan pengalaman. Sangatlah miris mengingat manusia sebagai animal rational.

Terakhir saya tutup tulisan ini dengan statemen "manusia belum bisa dikatakan bebas, sebelum ia berani melepaskan akal pikirannya dari belenggu kekolotan dogma. Seperti dogma agama dan budaya. DON'T BE AFRAID (janganlah takut) !!! USE ABILITY (gunakan kemampuan) untuk mencari kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun