Mohon tunggu...
12013Y
12013Y Mohon Tunggu... Seniman - Fresh Graduate

Real person trying to be more real by seeing reality as real as possible.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam 100 Ungkapan Rasa

1 Juli 2019   14:53 Diperbarui: 1 Juli 2019   15:00 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua tahun sudah aku menunggumu, menunggumu membuka pintu hati agar bisa kumasuki. Segala cara telah kucoba, mulai dari ala Romeo sampai Bento, semuanya tetap membuatmu bertahan dalam diam, diam yang bahkan aku tidak bisa menafsirkan maknanya, diam yang selalu membuatku menerka-nerka seperti apa kau memandangku. Sikap dingin itu muncul setiap aku bertanya apakah rasa ini berkemungkinan untuk terbalas, bertanya apakah aku melakukan sesuatu yang tidak sia-sia, apakah aku akan bahagia pada akhirnya dengan mengetahui bahwa kau juga mencintaiku.

Malam ini, setelah seharian aku menemanimu berkeliling kota untuk menenangkan hati dari masalah kantor, aku kembali menanyakan pertanyaan yang sama, dengan redaksi yang sama, dengan ekspresi yang sama, dengan kedalaman rasa yang sama. 

"Aku suka padamu, apakah kau juga begitu?"

Kau kembali menunduk, aku menghela nafas sambal mendongak memandangi bintang-bintang. Ekspresi itu, diam itu, sikap itu, lagi.

"Kau tahu? aku sudah 100 kali menyatakan cinta padamu dan 100 kali pula aku meminta cintamu, namun kau tetap sama, tidak menerimaku juga tidak menolakku. Sikapmu membuatku bingung harus bersikap seperti apa, haruskah aku terus seperti ini berada dalam angan-angan, tidak terhempas jatuh ke tanah, tak juga terbang menuju langit. Haruskah aku menjauh darimu? mencari pelabuhan lain yang menyediakan tempat bagi kapal yang telah lelah berlayar ini?" 

Kau tetap berdiam.

"Baiklah...,  aku akhirnya sadar bahwa kau memang tidak menginginkanku, kau tetap membiarkanku berada di sekitarmu hanya sebagai kompensasi dan obat rasa bersalahmu yang tidak mampu merangkulku, jadi kumohon untuk kali ini bicaralah, tolaklah aku agar aku bisa meyakinkan hati ini untuk tak lagi memiliki harapan rasa padamu." 

Melihatmu yang lagi-lagi hanya menunduk terdiam membuatku tak bisa berkata-kata lagi. 

"Ayo pulang, sudah malam" aku beranjak pergi menuju parkiran motor, kau bangun dan berjalan pelan mengikutiku. 

Kurebahkan tubuh di atas sofa menuruti kepenatan yang mulai menguasai tubuh, teringat momen perjalanan pulang tadi, kita berdua membisu, malam dingin ini semakin terasa dingin, ada rasa bersalah dalam diri karena merasa telah membuatmu merasa bersalah. Baru saja kupejamkan mata, HP ku berdering dan kulihat namamu tertera di layar, "halo..?" tak ada jawaban, aku pun diam. Dua menit berlalu tanpa suara kumatikan saja panggilannya. Tak lama berdering kembali dan masih dengan nama yang sama namun berbentuk pesan singkat yang kurang pantas disebut singkat:

Aku tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk menjawab pertanyaanmu, andai saja kau mengerti bahasa hati maka kau akan tahu bahwa aku selalu menjawab setiap pertanyaanmu 100 kali dengan kalimat "ya, aku mencintaimu." Namun apalah daya aku tidak mungkin mengucapkannya, aku benar-benar malu untuk mengakuinya. Aku malu pada Tuhanku yang tidak membolehkan aku berpasangan denganmu, rasa cintaku padamu tidak mungkin dan tidak harus mengalahkan rasa cintaku pada Tuhan. Kepercayaanku pada-Nya adalah segalanya bagiku, bukti bahwa aku masih berhak menerima kasih sayang Tuhan dalam hidupku, mencintai seseorang yang tidak mencintai-Nya, betapa durhakanya aku.  Sekarang kuharap kau mengerti arti diamku, diam yang tidak berani menolakmu dan tidak mungkin menerimamu. Ketidakmungkinan yang terjadi karena kita berbeda arah, ketidakberanian yang terjadi karena ada setitik harapanku kau bersedia searah. Sampai tiba saatnya hidayah-Nya menghampirimu, aku akan menerimamu dengan sepenuh hati, karena itu bukti bahwa Ia memang merestui kau menjadi pemimpinku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun