Hoax atau pemberitaan palsu tidak ada habisnya untuk dijadikan bahan diskusi, bahkan beragam bentuk dan metode penyebarannya pun sudah berkali-kali ditelaah untuk menemukan formula yang pas untuk menanganinya. Ironisnya di saat semua pihak berupaya untuk mencegah penyebaran hoax namun kenyataannya hoax sudah menjadi epidemi yang menyebar dan menjangkiti setiap aspek kehidupan saat ini.
Lebih jauh lagi, hoax berpotensi memunculkan konflik antar suku dan etnis. Jangan dianggap enteng dengan penyebaran isu hoax karena ia ibarat api kecil yang terkena siraman minyak tanah dan mengakibatkan kobaran api yang terus melahap apa yang ada disekitarnya tanpa bisa ditahan.
Kementerian agama yang bertanggung jawab pada kerukunan umat beragama sudah lama memandang serius tentang hoax dan ancamannya, karena itulah kementerian agama sudah memiliki tim cyber, namun tim cyber ini dirasa belum sepenuhnya kuat untuk menangkal serangan berita hoax yang membabi buta.
Karena itulah menurut saya (misalnya saya menteri agama nih!) kementerian agama tidak boleh terlalu bergantung atau mengandalkan tim cyber, namun juga harus melibatkan setidaknya dua pilar ini, yaitu:
1. Wartawan/Jurnalis : Wartawan atau jurnalis akan menjadi partner untuk menyiarkan berita-berita yang bersih dari unsur hoax, berita yang kredibel, serta menjadi media yang transparan dan terpercaya tanpa harus kehilangan nilai-nilai jurnalistiknya.
2. Ulama/Pemuka Agama : Ulama atau pemuka agama juga bisa digandeng menjadi mitra dalam kampanye anti hoax melalui aktifitas dakwah atau ceramah mereka. Ulama atau pemuka agama harus bisa tampil menjadi corong kementerian agama didepan jamaah/jemaat penganut agama agar kampanye anti hoax bisa lebih efektif sampai ke kalangan masyarakat.
Pada akhirnya apapun metodenya dalam menangani penyebaran hoax semuanya punya kewajiban untuk mengambil bagian dalam kampanye anti hoax sehingga tidak hanya menjadi persoalan satu institusi saja. Hoax adalah musuh bersama.