Di lereng selatan Gunung Muria, tepatnya di wilayah Kudus dan Pati, tersembunyi museum unik yang sudah berdiri sejak 2004 dan sudah ditetapkan menjadi cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah pada 22 September 2005.Â
Museum Situs Purbakala Patiayam terletak di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Museum Situs Patiayam sebagai tempat pelestarian fosil dan artefak purba, menawarkan perjalanan waktu ke puluhan hingga ribuan tahun lalu dimana gajah jenis Elephas Namadicus, fauna darat, fauna laut, fauna rawa, dan manusia purba hidup berdampingan. Fosil adalah sisa tumbuhan, hewan bahkan cetakan yang ditemukan.
Secara morfologi, Situs Patiayam merupakan sebuah kubah (dome) dengan puncak tertingginya yaitu Bukit Patiayam berada 350 meter diatas permukaan laut. Dulunya, Patiayam pernah terpisah dengan pulau Jawa dan baru bergabung secara permanen pada abad ke 17 Masehi. Di Museum ini, sudah ditemukan 17 spesies hewan diantaranya gajah, banteng, kerbau, gigi ikan hiu, kura-kura, dan lain sebagainya.
Situs Purbakala Patiayam dikenal sebagai salah satu situ Geo-Paleontologi terbesar di Indonesia. Fosil-fosil yang ada di Situs Patiayam pertama kali ditemukan oleh Raden saleh, seorang intelektual dan pelukis naturalis serta Frans Wilhelm Junghuhn. Museum Situs Patiayam menyimpan berbagai fosil yang ditemukan di wilayah sekitar, termasuk Gajah Purba Stegodon yang berciri khusus beratap tengkorak menonjol membentuk segitiga dan gading berbentuk membulat dan agak melengkung.Â
Penemuan Hominid (Homo Erectus) di Situs Purbakala Patiayam ditemukan oleh warga sekitar bernama Sartono dan Y.Zaim pada tahun 1979. Fosil tersebut ditemukan pada seri stratigrafi yang terdiri atas endapan laut di bagian bawah, dan endapan kontinental yang merupakan hasil aktivitas Gunung Muria. Patiayam kini telah menunjukkan hasil peninggalan kala plestosen yang lengkap seperti Sangiran, Ngandong, dan Trinil.Â
Temuan artefak manusia purba, seperti alat bantu, memberikan petunjuk tentang bagaimana manusia purba di kawasan Patiayam bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Ada beberapa cara mereka berinteraksi dengan ekosistem, diantaranya:
1. Berburu dan mengumpulkan makanan
Fosil hewan besar yang ditemukan bersama dengan alat batu menunjukkan bahwa manusia purba di Patiayam mungkin berburu hewan seperti stegodon, atau hewan besar lainnya untuk diambil daging, tulang, dan kulitnya. Fauna vertebrata seperti Bibos Paleosondaicus, Bubalus sp., Duboisia Santeng, dan Cervus sp. banyak hidup di padang rumput terbuka dengan sebagian berupa semak, rerumputan yang tinggi, dan lingkungan rawa-rawa. Selain berburu, kemungkinan besar mereka juga mengumpulkan hasil hutan, seperti buah-buahan, akar-akaran, dan biji-bijian sebagai sumber makanan.
2. Penggunaan alat batu
Adanya penemuan alat batu, menandakan bahwa ada kehidupan manusia purba di Patiayam. Alat ini memberikan gambaran keterampilan teknik manusia purba dalam membuat dan menggunakan alat untuk berbagai kebutuhan, termasuk berburu, memotong daging, atau memecahkan tulang. Alat batu hasil budaya manusia purba di situs patiayam memiliki ciri khas tersendiri. Walaupun pembuatan alat batu masih sederhana dan menggunakan bahan seadanya, namun tepologi paleolitik Patiayam tetap menunjukkan kapak perimbas.
3. Pemanfaatan Lingkungan untuk bertahan hidup
Lingkungan yang kaya akan sumber daya memungkinkan manusia purba bertahan hidup dengan beradaptasi seperti beradaptasi dengan perubahan iklim dan aktivitas vulkanik Gunung Muria. Sungai-sungai besar tidak hanya menjadi sumber air minum tetapi juga menjadi tempat berburu ikan. Terdapat Fauna laut seperti kepiting (brachycura), cephalopoda, ikan pari, mollusca, dan kerang yang juga diburu untuk bertahan hidup.Â
Koleksi museum ini mencerminkan keragaman fauna dan ekosistem purba yang pernah ada di wilayah ini. Fosil-fosil tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana geografis Pulau Jawa ribuan tahun lalu yang masih banyak hutan lebat hingga sungai-sungai besar.