Mohon tunggu...
tri maslikah
tri maslikah Mohon Tunggu... -

saya adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Eksistensi Pers Islam di Indonesia

26 September 2012   00:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:41 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Eksistensi Pers Islam di Indonesia

Oleh : Tri Maslikah (10210024)

1.Pendahuluan

A.Latar Belakang

Persaingan industri media yang semakin ketat mengharuskan media mencari kiat-kiat spesifik untuk dapat bertahan dan memenangkan persaingan. Segmentasi yang dikenal sebagai strategi untuk membidik kelompok pasar yang jelas, semakin dikenal dikalangan industri media. Hal ini sejalan dengan pengamatan para ahli media yang menyebutkan di masa depan, indutri media menuju ke arah demasifikasi atau mengarah pada segmentasi pembaca tertentu. Tujuanya untuk memenuhi kepentingan sekelompok tertentu pembaca yang dituju.

Dalam perkembangan awalnya, media masih bersifat umum. Dalam arti media tidak membidik pembaca tertentu namun pada perkembangan berikutnya ketika pilihan konsumen media semakin beragam dan spesifik, maka media dihadapkan pada pilihan segmen pasar tertentu.

Pers Islam adalah pers dengan segmentasi religius yang tentu saja menetapkan segmenya umat Islam, yang merupakan populasi paling banyak di Indonesia. Namun pada kenyataanya pers Islam tidak menjadi pilihan utama bagi umat Islam sendiri.

Kecuali harian umum Republika sebagai pers Islam no. 1 di Indonesia, pers Islam lainya yang ada di Indonesia kenyataanya sulit berkembang. Iklan tak mampu dijadikan andalan pemasukan, hingga banyak pers Islam yang akhirnya tak mampu mempertahankan eksistensinya.

Penerbitan Islam yang tidak mampu bertahan meski keberadaanya cukup prestisius itu misalnya Kiblat, Panji Masyarakat, Umat, Aku Anak Saleh(?), Amanah, Ulumul Qur’an, dan harian Pelita. Untuk tingkat daerah misalnyaHikmah di Jakarta, Aliran Islam (Bandung), Al-Islam (Medan), Daulah Islamiyah (Jakarta), Mingguan Hikmah di Jawa Barat yang “dibunuh” oleh penerbitnya sendiri, padahal umat Islam menyambut baik kehadiranya.

Suatu fenomena yang ironis, kebanyakan pers Islam yang keberadaanya terjepit di antara pers non-Islam/universal di tengah-tengah masyarakat muslim di Indonesia yang jumlahnya paling banyak.

B.Rumusan Masalah

·Memaknai pers dalam Islam

·Menguak rahasia kevakuman perkembangan pers Islam

·Eksistensi media massa dalam pers Islam di Indonesia

1.Pers Islam Menurut Beberapa Persepektif

Pers Islam adalah bagian dari komunikasi Islami. Komunikasi Islami adalah komunikasi yang berbasiskan pada nilai-nilai yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.

“Muktamar Media Massa Islam Sedunia 1.” (Jakarta, 1-3 September 1980) merumuskan pers Islam sebagai berikut: Pers Islam ialah segala liputan dan tulisan lainya yang senantiasa mendasarkan pemberitaanya atas kebenaran Islam dengan cara dan metode yang diatur agama Islam, yakni bi al-mau’izhah al-hasanah (pendekatan yang baik), sehingga memungkinkan terjalinya pembaca terhadap Islam.

Tim survei “Pers Islam dan Negara Orde baru,” seperti dikutip Republika (26 April 2000), merumuskan pengertian pers Islam sebagai berikut: “Pers Islam adalah pers yang dalam kegiatan jurnalistiknya melayani kepentingan umat Islam, baik yang berupa materi (misalnya, kepentingan politik) maupun nilai-nilai.”

Ainur Rofiq Sophiaan, menyebutkan bahwa ada dua metode pendekatan yang sederhana dalam menyelisik pers Islam. Pertama, metode pendekatan secara formal. Dengan pendekatan ini pers Islam dipahami sebagai pers yang diterbitkan oleh umat Islam, menyuarakan aspirasi dan aktivitas umat islam dan bertujuan untuk mempertahankan misi dan eksistensi Islam. Kedua, metode pendekatan informal. Dari kacamata ini, pers Islam dinilai dari misi Islam itu sendiri secara global dan holistis; rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam). Dalam konteks ini, Islam lebih banyak diukur dari cita-cita moralitasnya dari semua segi kehidupan. Wujudnya adalah keadilan, pemerataan, persaudaraan, persamaan dan demokrasi.

Berbeda dengan pendapat diatas, Asep Saeful Romli mengatakan, jurnalistik Islami bukanlah media massa Islam atau pers Islam. Sebuah media yang mengklaim sebagai media massa Islam belum tentu bermuatan juralistik Islam, sebagaimana halnya masyarakat Islam belum tentu mencerminkan diri sebagai masyarakat Islami (sesuai dengan nilai-nilai Islam). Menurutnya, jurnalistik Islami merujuk pada proses atau aktivitas jurnalistik yang aktivitas jurnalistik yang umumnya berupa media dakwah atau himpunan karya jurnalistik dengan bahan baku konsep ajaran Islam yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Jurnalistik Islami dapat juga dimaknai sebagai proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat muatan dan sosialisasi nilai-nilai Islam. Dengan demikian, jurnalistik Islami dapat dikatakan sebagai crusade journalism, yaitu jurnalisme yang memperjuangkan nilai-nilai Islam.

Jurnalistik Islami pun bernapaskan jurnalisme profetik, suatu bentuk jurnalisme yang tidak hanya melaporkan berita an masalah secara lengkap, jelas, jujur, serta aktual, tetapi juga memberikan prediksi serta petunjuk ke arah perubahan, transformasi, berdasarkan cita-cita etik dan profetik Islam. Ia menjadi jurnalisme yang secara sadar dan bertanggung jawab memuat kandungan nilai-nilai dan cita Islam.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pers Islam adalah segala penerbitan yang pekerjaanya, kepemilikan dan misinya berdasarkan pada ajaran Islam dan tujuanya untuk kebaikan dan perbaikan umat manusia.

2.Faktor Penyebab Pers Islam Sulit Berkembang

Rusjdi Hamka dalam Media dan Citra Muslim menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan pers Islam sulit berkembang atau berhenti terbit. Terbatasnya modal, kurang profesional, minat baca umat yang rendah, dan kurang menarik bagi kalangan menengah ke atas, merupakan empat aspek keterbatasan pers Islam. (Dedy Mulyana, 2011)

Pertama, terbatasnya modal. Hal ini ada kaitanya dengan motivasi utama penerbitan pers Islam ialah semangat untuk berdakwah, menyebarkan agama Allah. Para penerbit dan redaktur pers Islam kebanyakan terdiri dari orang-orang sepaham, dari satu organisasi. Dengan demikian, sulit dihindarkan sifat ekslusivisme, yang berarti kurang tertariknya kalangan luar yang tidak sepaham membaca atau menjadi pelanggan.

Karena yang lebih diutamakan adalah dakwah, segi bisnisdari penerbitan Islam kurang mendapat perhatian. Akibat lebih jauh, para agen atau pembaca sendiri menjadi mitos “demi dakwah” itu sebagai dalih untuk tidak menyelesaikan utangnya. Sehubungan dengan itu, para wartawan dan pengusaha muslim belum banyak yang berani menginvestasikan modalnya di bidang penerbitan pers ini. Modal untuk menerbitkan sebuah majalah Islam biasanya berasal dari sumbangan, zakat, atau infak umat Islam sendiri.

Kedua, kurangnya tenaga profesional yang terdidik dan memahami seluk-beluk penerbitan pers yang meliputi segi bisnis, redaksional, teknik cetak, dan berbagai perangkat canggih. Seperti telah diketahui, pers saat ini telah berkembang sebagai sebuah industri yang memerlukan modal besar dan melibatkan banyak manusia, wartawan, karyawan administrasi, percetakan sampai pada agen dan pengecer. Karena itu, disamping fungsinya sebagai media informasi, penyalur aspirasi umat yang bersifat ideal, pers harus dikelola menurut prinsip ekonomi, tegasnya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Ketiga, minat baca dan selera masyarakat yang masih rendah terhadap media Islam. Hal ini mungkin bersumber dari keadaa perekonomian umat Islam yang masih terbelakang dan menganggap koran atau majalah sebagai sesuatu barang yang mahal. Selama ini pangsa pasar pers Islam ialah masyarakat rural, di daerah-daerah, seperti kaum santre, aktivis organisasi Islam. Mereka menjadi pelanggan pers Islam karena solidaritas dan karena harganya yang lebih murah.

Keempat, ketiga aspek di atas melahirkan pers Islam yang secara penampilan kurang menarik dan secara isi terlalu “berat” untuk dapat dikonsumsi oleh orang awam yang banyak di antara mereka adalah kalangan menengah ke atas yang hidup di kota, mungkin mereka merasa kurang bergengsi membaca media Islam. Begitu pun kalangan pengusaha lebih tertarik mempromosikan perusahaanya pada media non-Islam.

Mengutip pandangan David T.Hill dalam buku Ilmu Komunikasi Sekarang dan Tantangan Masa Depan, menyatakan:

“.....it is somewhat surprising to many foreign observes that while more than 80% of the Indonesia population is categorized as muslim, two of the largest newspaper are assocated with christian interest.overall, there has been a sorry history of unsuccesfull at tempts to establish and sustain expicity muslim papers. Since the banning of Abadi in 1974 and particularly during the mid w980-an the Islamic media has been marginalized by more professional, secular or Christian interest.

Memperjelas pandangan Rudji Hamka, persoalan yang menyebabkan pers Islam tidak mampu berkembang adalah persoalan bagaimana menyeimbangkan antara idealisme dan kepentingan bisnis.

Mengapa keberadaan pers Islam begitu penting untuk dibicarakan? Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsinya yang paling penting adalah untuk mendidik umat atau sebagai media dakwah yang padagiliranya memberikan kontribusi bagi terciptanya masyarakat madani.

Kehadiran pers Islam yang acceptable dapat menyuarakan aspirasi Islam, memperjuangkan nilai-nilai Islam, atau membela kepentingan agama dan umat Islam. Hal ini menjadi bagian integral dari kemusliman seseorang yang tidak hanya diukur secara individu tetapi juga secara sosial. Artinya, kehidupan sosial seorang muslim harus berdasarkan Islam. Hal ini yang tampaknya belum dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Inilah tugas pers Islam, mendidik umat.

Menyeimbangkan antara kepentingan idealisme dan kepentingan bisnis dalam menjalankan pers Islam, berarti dibutuhkan pengelolaan pers Islam secara profesional. Profesionalitas pers Islam ini diharapkan dapat mempertemukan dua pihak, pengelola pers Islam dan umat Islam. Pengelola butuh dukungan umat Islam dengan menjadi pelanggan tetap dan turut menyebarkanya dengan menjadi agen. Umat Islam yang menjadi pelanggan juga butuh profesionalisme dan kepuasan membaca.

3.Eksistensi Media Massa

Media adalah pesan itu sendiri. Adapun isi dari media adalah tulisan yang berupa informasi yang telah diwujudkan dalam bahasa. Sementara isi dan tulisan adalah pembicaraan tentang realitas. Pembicaraan merupakan aktualisasi dari proses pemikiran. Maka, media adalah perluasan dari ide, gagasan, dan pikiran terhadap kenyataan sosial. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa “Media is the extensions of man.” (Dedy Mulyana, 2011)

Adapun tiga eksistensi media massa. Artinya, keberadaan media dapat diukur oleh hal-hal seperti:

1.The mass media are the instruments of communication.

2.Because of their large audience the media are enormously powerful.

3.The media are buinesses and to survive and retain their independence must earn a profit.

Media adalah alat dari komunikasi massa. Suatu komunikasi yang ditujukan pada massa menyangkut hal-hal yang bersifat massal. Harus diingat, pesan komunikasi tidak akan sampai ke sasaran massa yang heterogen, anonim dan large, tanpa melalui media. Artinya, keberadaan media begitu penting.

Karena sasaran/audience dari komunikasi massa itu sangat luas dan tak terbatas, maka media ditenggarai memiliki kekuatan luar biasa dalam menyampaikan informasi bahkan dalam mempengaruhi khalayak tentang suatu hal. Media massa mempunyai sesuatu kekuatan dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, media massa sering digunakan oleh orang-orang yang bergerak dalam bidang politik, ekonomi, dan sosiokultural, guna kepentingan mereka.

Media massa menjalankan bisnis demi kelangsungan hidupnya dan kebebasanya, media massa harus mencari keuntungan. Untuk menjadi media massa yang eksis, ia harus menjalankan bisnis sebagaimana menjalankan idealismenya. Bahkan idealisme dapat bertahan dan berkembang karena adanya dana. Mempertimbangkan segi bisnis yang berkelanjutan dalam pers Islam itu sendiri. Disamping itu, menjalankan bisnis dalam media massa berarti mencari keuntungan untuk suatu kebebasan. Pers Islam yang menggantungkan dana penerbitan dari infak atau zakat, biasanya mudah untuk dicampurtangani isi dan kebijakan redaksinya oleh para ulama atau agamawan yang tidak tahu seluk beluk jurnalistik. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kebebasan, pers Islam harus mencari keuntungan, agar tidak ada yang mendikte, dan yang menjadi aturan mainya hanya jurnalisme yang Islami. Pers Islam yang independen pada giliranya tidak akan terjebak pada pers sektarian yang ekslusif.

Adapun kondisi umat Islam di Indonesia dalam mengonsumsi media, kebanyakan lebih tertarik pada televisi. Hal ini berkaitan dengan minat baca umat yang masih rendah. Umat yang dihadapi para jurnalis dapat dibagi atas tiga golongan yang masing-masing dihadapi dengan cara yang berbeda-beda sesuai hadis “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) akal mereka. (HR.Muslim). tiga golongan tersebut antara lain:

1)Golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran. Berpikiran kritis dan cepat tanggap.

2)Golongan awam. Masyarakat yang belum dapat berpikiran kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian tinggi-tinggi.

3)Golongan yang tingkat kecerdasanyadi antara kedua golongantersebut.

Dari pandangan di atas, tampaknya pers Islam perlu melakukan segmentasi pasar sesuai dengan penggolongan diatas. Segmentasi intelektual, umat Islam kebanyakan/ non-mazhab, dan umat yang moderat.

Dalam praktik pers Indonesia, setidaknya ada dua pandangan segmentasi pers berdasarkan agama. Ada yang berpendapat segmentasi pasar itu tidak ada. Pendapat tersebut didukung oleh kenyataan banyaknya pers Islam yang tidak dapat berkembang bahkan banyak yang mati. Yakob Oetama dari harian KOMPAS dan Amir Siregar dari Warta Ekonomi, adalah dua praktisi yang percaya pendapat tersebut. Menurut mereka, pers agama tidak akan mampu berkembang menjadi pers industri, karena paradigmanya yang berbeda.

Pendapat berbeda menyebutkan segmentasi religius itu ada dan memiliki prospek yang bagus dalam pasar media di indonesia. Menurut kalangan pers Islam, kegagalan pers Islam, justru disebabkan oleh ketidaktepatan dalam merumuskan apa yang disebut segmentasi religius itu. Relatif suksesnya beberapa pers Islam pada era reformasi salah satunya disebabkan oleh ketepatan membidik segmen dalam masyarakat muslim di Indonesia.

Kenyataan adanya tingkat keberagaman masyarakat Indonesia cukup menunjukkan adanya segmen bagi pers Islam. Meskipun pers Islam tidak berbeda dengan jurnalistik non Islam dalam hal model, proses dan efeknya, namun amat berbeda dalam hal landasan filosofisnya, yaitu al-Qur’an dan hadis.

Pers Islam yang menjalankan praktik jurnalisme Islami, tentu saja menjadi wahana yang menampung, menyalurkan, dan memperjuangkan aspirasi umat. Apirasi ini ditampilkan alam napas Islam, tidak sekadar terwujud dalam rubrik Islam yang belum tentu bernapaskan atau bernilai Islam.

Dalam hal tulisan yang bernapaskan Islam tidak berarti berita Islam yang disajikan bersifat normatif. Umat Islam yang makin terdidik sekarang ini menginginkan sajian agama yang rasional, yang dapat dicerna dengan akal sehat dan relevan dengan tingkat kehidupan mereka. Penyajian semacam ini disebabkan pandangan umat yan selalu melihat Islam sebagai ajaran semata, yang padahal Islam dapat juga dipandang sebagai realitas empiris. Inilah dilema pers Islam, antara Islam normatif dengan Islam empiris atau historis.

4.Kesimpulan

Salah satu unsur yang paling penting yang selalu identik dengan pers adalah adanya media terutama media masaa. Media massa menjalankan fungsinya untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah. Lewat media pula berbagai inovasi atau pembaharuan bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Inilah peran pentingnya pers.

Marshall Mc Luhan menyebutnya sebagai the extension of man (media adalah ekstensi manusia). Dengan kata lain, media adalah perpanjangan dan perluasan dari kemampuan jasmani dan rohani manusia. Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap perasaan manusia bisa disebarluaskan melalui pers.( Nurudin, 2007)

Sebagai wahana publisitas maka pers juga harus melihat audience. Kepada siapa nantinya pers ini akan disalurkan. Sehingga pers harus melihat segmentasi pasar. Seperti halnya pers Islam yang segmentasinyaadalah umat Islam. Sehingga tim redaksi dan lembaga pers Islam harus berpikir dan mengupayakan bisnis sejalan dengan upaya menyuarakan ideologi Islam. Ideologi perlu dipertahankan keberadaanya dalam tubuh pers yang sehat secara ekonomi. Bisnis untuk mendapatkan keuntungan membuat pers Islam dapat mempertahankan eksistensinya

Daftar Pustaka

Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007

Mulyana, Dedy, M.A., Ph.D. Dkk. Ilmu Komunikasi Sekarang dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: Kencana. 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun