Mohon tunggu...
Alda Silvia Fatmawati
Alda Silvia Fatmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Everything's Gonna Be Okay

"Menulis itu mudah. Tapi bagaimana agar tiap huruf berarti dan bisa membuat pembacamu bergerak ke arah yg lebih baik, tanpa kau gurui". - Helvy Tiana Rosa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Fenomena Buzzer di Media Sosial dalam Dinamika Politik

18 April 2021   14:35 Diperbarui: 18 April 2021   14:40 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era yang terus berkembang seperti saat ini dengan didukung tekhnologi yang maju, media sosial menjadi suatu hal yang semakin erat dan tidak dapat terpisahkan dalam setiap aktivitas maupun kehidupan manusia. Media sosial menjadi tempat berkomunikasi dimana tidak ada batasan-batasan untuk bersosialisasi baik ruang maupun waktu. Dampak dari penggunaan media sosial juga sangatlah beragam dan memiliki dampak yang cukup besar, dari hal-hal kecil yang mampu mengantarkan seseorang mendapatkan hal yang besar dan sebaliknya dapat pula menjatuhkan seorang dengan hal-hal kecil yang dilakukan. Semua itu tergantung bagaimana seseorang menyikapi penggunaan media sosial, akan menjadi bemanfaat jika digunakan dengan bijak dan akan menjadi boomerang jika menyalahgunakan kebebasan yang di dapat dalam bermedia sosial.

Berdasarkan laporan Digital 2021 yang berjudul "The Latest Insight Into The State of Digital" yang dikutip dari KOMPAS.com menyatakan bahwa Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara yang kecanduan media sosial. Laporan tersebut juga menyatakan 170 juta dari 274,9 juta penduduk di Indonesia menggunakan media sosial dengan presentase sekitar 61,8%. Beberapa aplikasi memiliki frekuensi pengguna yang beragam, namun jika diurutkan dari yang terbanyak maka YouTube menempati urutan pertama, yang kemudian disusul oleh WhatsApp, Instagram, Facebook, kemudian Twitter. Twitter yang berada di urutan ke lima dalam rata-rata penggunaan setiap bulannya mencapai 8,1 jam. Angka tersebut cukup besar, namun akan terlihat sedikit jika dibandingkan dengan penggunaan aplikasi lainnya. Hal tersebut juga tak lepas dari tujuan para pengguna, dimana lebih dari setengah pengguna media sosial memakainya dengan maksud menjalin relasi maupun menjalankan suatu bisnis.

Dari data tersebut, kita dapat mengetahui seberapa besarnya pengaruh media sosial bagi kehidupan. Hal ini menjadi sesuatu yang cukup mengkhawatirkan karena kemudahan dalam bermedia sosial sama artinya dengan memudahkan penyebaran informasi. Seperti yang kita ketahui banyak sekali hoax yang beredar, ujuran-ujaran kebencian dapat ditemukan dimana-mana, dan tindakan-tindakan lain yang mampu menimbulkan keributan di media sosial yang pada akhirnya mampu merambah di dalam kehidupan yang sesungguhnya. Bahkan terdapat pula suatu kepentingan yang dengan sengaja mempergunakan media sosial sebagai alat untuk menimbulkan disinformasi serta menggiring opini masyarakat untuk mempercayai apa yang mereka tulis. Media yang kerap sekali menjadi sasaran dalam menyebar luaskan hoax serta ujaran kebencian dengan tagar atau hashtag yang menjadikan isu yang diangkat menjadi populer dan mudah ditemukan oleh pengguna lain ialah twitter. Hadirnya twitter tidak terlepas dari berbagai macam istilah yang muncul di media sosial seperti followers, influencer, netizen, hingga buzzer.

Buzzer dapat diartikan sebagai perangkat elektronik yang digunakan untuk menyebarkan sinyal tertentu dengan membunyikan dengungan. Menurut Arbie (2013), buzzer dapat dianalogikan sebagai suatu akun yang dapat memberikan pengaruh besar terhadap terhadap pengikutnya atau followers yang ada di media sosial dan diharapkan dapat membuat sebuah topik baik di dunia online maupun nyata. Terdapat empat karakter yang dimiliki oleh seorang buzzer yaitu, untuk memudahkan dalam pengumpulan informasi yang krusial seorang buzzer membutuhkan jaringan yang luas, jaringan tersebut dapat berupa followers mereka di media sosial. Buzzer juga seharusnya memiliki kemampuan berbicara yang baik agar pesan yang disampaikan dapat menarik perhatian banyak orang. Dalam pembuatan kontennya ia juga harus pandai dalam memilih framing dari produk yang akan dibuat.

Pada awalnya buzzer memiliki peran yang cukup positif yaitu mempromosikan suatu produk dengan atau tanpa imbalan. Buzzer juga dianggap efektif dalam memasarkan suatu produk karena bisa dilakukan kapan dan dimana saja, belum lagi pekerjaan ini dinilai sangat menjajikan. Seorang buzzer tidak selalu harus seseorang yang banyak dikenal, tetapi ia yang mampu menjalankan tugas marketing sesuai dengan permintaan klien karena pada saat ini buzzer tidak lagi menjadi agen tunggal karena sudah terdapat suatu industri strategi komunikasi yang melakukan recruitment terhadap seorang buzzer yang bekerja untuk korporasi maupun tokoh politik.

Berdasarkan penelitian CIPG yang dilakukan oleh Rinaldi Camil, mengungkapkan alur kerja perindustrian buzzer dimana mereka akan dipetakan berdasarkan kebutuhan pasar. Untuk menguhungkan konsumen dengan buzzer dalam proses kampanye yaitu dengan menggunakan situs seperti Go-Viral dan Sociobuzz. Mereka juga harus melewati proses seleksi dengan melihat keaktifan setiap individu dalam bermedia sosial. Buzzer yang bekerja untuk korporasi biasanya memiliki tujuh sampai sepuluh orang di dalam satu tim, mereka akan bekerja selama 24 jam dengan pembagian tugas. Tugas tersebut terbagi menjadi tiga, yang pertama sebagai Person In Charge (PIC) dan PIC Support yang bertugas untuk menyusun strategi dalam mengimplementasikan perencanaan yang ada ke dalam media sosial, kemudian merancang desain sosialisasi yang disesuaikan dengan sasaran yang ada, serta memperhatikan efektivitas pesan yang ingin disampaikan. Yang kedua sebagai content writer, pembuatan naskah serta persiapan pesan broadcast di instant messenger di persiapkan oleh tim ini. Dan yang terakhir sebagai admin yang mengawasi dan mempertajam isu isu. Tidak hanya itu buzzer juga memantau pihak lawan jika terjadi penyerangan. Para buzzer juga memiliki jenjang karir menurut kualitas engagement seperti likes, comments, maupun retweets.

Buzzer politik dengan agensi yang memberikan pekerjaan jarang sekali bertatap muka dalam membahas rencana yang akan digarap, hal ini dikarenakan kerahasiaan menjadi sesuatu yang paling utama di ranah politik agar klien merasa aman. Pekerjaan ini sebenarnya memiliki beban dan resiko tersendiri, sehingga buzzer prefesional biasanya mendapatkan honor setiap hari nya mulai dari Rp 200 ribu -- Rp 400 ribu atau lebih. Tidak hanya itu, jika target dapat tercapai dengan baik maka akan ada nominal tambahan sebagai bonus. Pada intinya semakin tinggi level, maka semakin tinggi pula bayaran yang akan diperoleh. Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa kerja buzzer sebenarnya menunjukan prefesionalitasnya dalam menjalankan fungsinya sebagai marketing. Konsep pemasaran yang mereka terapkan yaitu target pasar, keinginan dan tuntutan, kebutuhan, penawaran dan merek, serta nilai.

Buzzer politik memberikan andil yang cukup besar dalam menyukseskan pasangan calon maupun memberikan informasi kepada khalayak umum karena dengan masifnya informasi yang disebarkan banyak pengguna media sosial yang pada akhirnya mencoba mencari tau lagi fakta-fakta atau informasi dari pasangan calon terkait sehingga masyarakat dapat menaruh pilihannya kepada pasanagan yang memang menurutnya sesuai dengan mereka dan pantas mendapatkan tanggung jawab dari masyarakat, hal itu juga dapat mencerminkan munculnya wujud demokrasi di dalam bermedia sosial. Hingga pada akhirnya di tahun 2014, jasa yang diberikan oleh buzzer ini semakin menarik perhatian para aktor-aktor politik untuk melancarkan proses marketing di setiap partai politik saat hendak melangsungkan pemilihan umum dan mendapatkan perdebatan tersendiri terkait makna dan peran buzzer dengan ranah perpolitikan.

Dalam penelitian Universitas Oxford yang berjudul "The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation" oleh Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard yang menyatakan bahwa beberapa pihak di Indonesia yang menggunakan buzzer adalah politisi, partai politik, dan kalangan swasta. Tujuan digunakannya buzzer yaitu untuk menyebarkan propaganda baik pro-pemerintahan atau pro-partai, menyerang oposisi, serta terdapat juga yang membentuk polarisasi. Hal itu menjadi semakin kuat dengan tersebarnya konten yang dibuat baik berupa narasi maupun video atau meme yang dibuat. Sisi negatif dari buzzer yaitu adanya manipulasi media yang menimbulkan disindormasi yang mampu menyesatkan target yang dituju. Hal ini seakan menjadi suatu keharusan karena tugasnya yang mampu menggiring opini publik di dunia maya melalui strategi pemasarannya. Sejak saat itulah, buzzer cenderung diidentikkan negatif karena terdapat black campaign dalam menjalankan tugasnya serta beberapa kegiatannya yang terkesan tidak bertanggung jawab dalam penggunaan media sosial.

Pada dasarnya kampanye bersifat membujuk di setiap kegiatan yang dilakukan. Dengan masifnya informasi yang disebarluaskan di media sosial dan melihat banyaknya pengguna di Indonesia yang aktif bermedia sosial terutama pada twitter, menjadikan buzzer sebagai salah satu ujung tombak para aktor politik untuk mendapatkan kesuksesan ataupun suara pada saat pemilihan umum nantinya karena selain menjalankan tugas marketingnya, buzzer juga dapat bekerja dengan menjatuhkan atau menjelek-jelekan pihak lawan dan melakukan pembelaan terhadap pihak yang didikung. Peran tersebut menjadi sesuatu yang berbahaya karena mampu membentuk persepsi dan pandangan masyarakat terhadap kandidat tertentu yang mampu memunculkan hatespeech dari berita hoax yang dibuat sehingga dapat menyebabkan suatu perpecahan dalam masyarakat. Perkembangan industri buzzer yang cukup pesat belum disertai dengan adanya aturan khusus yang mengatur tentang cara kerja buzzer yang membuat kondisi semakin buruk. Perlu adanya batasan waktu dalam mempromosikan kandidatnya yang juga disertai dengan literasi penggunaan media sosial karena pelaku fabrikasi dan penyebaran hoax harus ditindak lanjuti. Banyak juga buzzer yang memiliki akun anonim untuk menjaga identitasnya agar tetap aman, meski begitu terdapat juga beberapa kasus yang menangkap seorang buzzer dengan jeratan UU ITE dari ujuran kebencian yang dilakukan. Padahal, sebenarnya dibutuhkan transparansi guna melindungi masyarakat dari adanya manipulasi informasi yang tidak terkendali.

Kasus buzzer dalam pemilihan umum salah satunya dapat kita lihat pada saat menjelang pilkada DKI Jakarta di tahun 2017. Christiyani Juditha (2019) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam sebuah situs berita dipenuhi oleh komentar netizen baik yang pro maupun anti terhadap pasangan yang mencalon sebagai gubernur. Hal itu dinilai sebagai kerja para buzzer yang saling menyerang pendukung lain dengan komentar yang mengarah pada ujaran kebencian khususnya agama dan SARA dimana hal tersebut ditujukan kepada ahok. Kalimat yang dilontarkan juga banyak mengandung kata-kata marjinalisasi dan prasangka  yang tidak pantas terhadap calon pasangan. Kekacauan yang diakibatkan oleh buzzer perlu diwaspadai untuk mengantisipasi suatu propaganda yang sengaja dibuat untuk menimbulkan kegaduhan dan gangguan terhadap kompetitor. Meskipun buzzer bekerja dibalik layar, namun tugas dan sistem kerjanya tidak bisa dilakukan dengan sembarangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun