Mohon tunggu...
Annisa Sinta Dewi
Annisa Sinta Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Qutub dan Kiblat: Produk UMKM Penggerak Ekonomi Kerakyatan Butuh Literasi Bisnis Online

9 September 2021   19:24 Diperbarui: 9 September 2021   19:27 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Songkok, yang dikenali juga sebagai kopiah atau peci, sejenis topi yang menjadi bagian penting pakaian bangsa melayu, seperti Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunai Darussalam dan selatan Thailand. Di Indonesia, songkok ini kemudian meskipun tidak resmi ditetapkan secara formal, sampai saat ini menjadi pakaian nasional, dan sering kita jumpai secara pesifik digunakan kaum muslimin. Songkok juga dipakai oleh tentara dan perangkat pemerintah, seperti di Malaysia, Brunei dan tentu Indonesia.

Bagi muslimin di Nusantara, songkok juga menjadi pakaian kepala yang resmi ketika menghadiri upacara-upacara resmi seperti upacara perkawinan, salat jum’at, acara keagamaan dan khususnya saat Idul Fitri dan Idul Adha. Karena sudah menjadi pakaian bangsa melayu maka tidak heran kalau songkok diproduksi oleh banyak masyarakat sebagai bidang usaha produksi pakaian.

Umumnya produsen songkok adalah masyarakat dengan usaha sekala kecil, atau produk usaha rumahan atau usaha menengah kecil dan mikro (UMKM). Diantara UMKM kopiah atau songkok tersebut adalah ‘tiga kunci’, yang memproduksi beberapa merek dan sekaligus sebagai seri produk kopyah atau songkok.

Profil dan Perkembangan “Tiga Kunci”

UMKM ‘tiga kunci’ merupakan usaha bersudara, Didirikan sejak tahun 1966, dengan produk pertama seri ‘Cap Kupu’. Produk pertama cukup terkenal di masanya, khususnya di Jawa Timur, seperti Malang, Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, Madura, Blitar, Kediri dan Jombang. Kemudian dalam perkembangannya dikenali juga di wilayah jawa tengah, khususnya di Rembang dan Lasem. Produk ini cukup diminati karena kualitas dan kenyamannya ketika digunakan.

Perkembangan berikutnya, setalah terjadi krisis ekonomi 1977, karena ketergantungan bahan baku yang 60%-nya adalah produk Impor, yaitu kain bludru lapis luar songkok, maka terjadi lonjakan harga yang dicukup kuat dan pemilik usaha mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pasar, begitu juga oleh pembeli songkok cap ‘kupu’ tersebut. Akhirnya secara ekonomi terjadi kebuntuhan usaha, “kalau dibandingkan ya seperti kondisinya saat ini, karena wabah penyakit (Corona-19)”, kata Bapak Zainal.

Karena ekonomi terjadi kemacetan, pasar juga terjadi penurunan pembelian, maka pada 1979, pemilik usaha mencoba membuat produk alternatif, yaitu ‘kupu hitam’ dan ‘tiga kunci’. Jadi pemilik usaha tiga kunci mempuyai seri produk songkok ‘kupu’, ‘kupu hitam’ dan ‘tiga kunci’, yang terahir adalah nama usaha sekaligus sebagai nama merek/seri produk.

Tiga merek dalam satu usaha merupakan inovasi, atau usaha kreatif pada zamannya, karena dengan begitu pemilik usaha dapat mencairkan kemacetan pasar yang cukup lama. Dengan modal cap songkok seri pertama (cap Kupu) yang cukup dikenali, pengusaha mencoba menawarkan produk alternatif yang dapat diterima masyarakat. Hasilnya pasar kembali normal dan pemilik usaha dapat melanjutkan usahanya, sehingga pada puncaknya tahun 1998. “Alahamdulillah ikhtiar kami waktu itu dapat memperbaiki situasi, dan secara bertahap dapat mengembalikan roda usaha, sekaligus dapat mengembalikan pinjaman yang sebelumnya macet sebagai modal usaha”, kata Bapak Zainal.

Krisis ekonomi global kembali menjadi masalah besar bagi UMKM, baik secara lokal, nasional atau internasional. Terpaan krisis keuangan 1998, diteruskan dengan pergantian periode kepemimpinan di Indonesia yang hiruk pikuk telah memukul usaha rumahan, termasuk usaha songkok tiga kunci. Meskipun tidak separah krisis ekonomi 1977, namun akibat yang dirasakan usaha “tiga kunci” cukup tajam.

Dengan perkembangan kondisi pasar, persaingan usaha yang cukup tinggi, sehinga berpengaruh pada produksi, tingkat penjualan dan margin yang diperoleh oleh setiap pengusaha. Begitu juga dengan perkembangan pemilik tiga kunci, dalam perkembangannya satu persatu karena usia pemilik pertama meninggal dunia, dan kemudian digantikan oleh anak-anaknya. Karena perbedaan visi dari pemilik pertama dan pemilik berikutnya (generasi kedua) maka usaha ini sedikit terganggu, sehingga untuk menjaga keberlangsungan usaha dibuatlah perjanjian dari masing masing-masing wakil keluarga untuk membagi merek tiga kunci ke pada keturunan bersaudara tersebut. Masing-masing telah menjalankan usahanya, dengan merek yang disepakati, sejak tahun 2000.

Salah satu keturunan usaha songkok tiga kunci adalah Bpk. Zainal yang saat ini pemilik resmi merek ‘Qutub’ dan ‘Kompas Kiblat’. Saat pembagian merek-merek dari usaha tiga kunci beliau mendapatkan seri ‘cap tiga kunci’. Namun dalam perkembangannya, merek cap tiga kunci merupakan produk paling disukai pasar, dan karena alasana persaudaraan, maka merek ‘tiga kunci’ juga dilepas untuk diberikan kepada salah satu pewaris merek usaha “tiga kunci” lainnya. Tetapi sebelum Bpk. Zainal melepas seri ‘cap tiga kunci’, beliu mendaftarkan mereka songkok cap ‘Qutub’. Seri ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa produk dengan standar seri ‘tiga kunci’ dapat diterima dan dapat memperkuat pangsa pasar.

Sasaran pasar seri ‘tiga kunci’ dan ‘Qutub’ adalah pasar lokal, dan pemasarannya di wilayah jawa timur, khususnya di Lamongan, Sidoarjo, Mojokerto, Tuban, Jombang dan Kediri. Namun dengan startegi yang dibuat yaitu membuat produk yang sama dengan kualitas standar yang sama dengan harapan merebut pasar lebih luas tetapi kenyataanya tidak sesuai dengan harapan, “ternyata pelanggan setia songkok cap tiga kunci kurang berkenan, karena kebingungan terhadap harga yang berbeda, dengan pilihan kualitas produk  yang sama. Maka akhirnya cap Qutub dirubah sebagai seri tersendiri, dan cap tiga kunci berlanjut

Dari pengalaman tersebut, maka Bpk. Zainal berupaya tetap merebut pasar yang sudah memiliki fanatismenya sendiri terhadap kualitas produk yang dibuat, maka dengan berbekal pengalaman usaha, memahami pasar dan tetap konsiten dengan produk berkualitas dan nyaman, serta harga terjangkau, maka dimunculkan seri songkok cap ‘kompas kiblat’ dengan kualitas dan harga diatas seri produk cap tiga kunci dan qutub. Selisih harga yang tidak terlalu jauh dari produk yang sudah ada, membuat ‘kompas kiblat’ diterima dengan baik dipasar hingga sekarang. “Jadi menjaga citra produk dan kepercayaan pasar terhadap suatu produk itu sangat penting. Konsumen yang sudah fanatik tidak tertarik dengan seri produk yang membingungkan, tapi memilih yang disukai dan cocok, itu yang katanya orang pinter sebagai branded’, sambung Bapak Zainal.

Tantangan ‘Qutub dan Kiblat’

Saat ini, pasar teradisional banyak terkoreksi oleh usaha online, konsumen mulai menyukai pembelian online, meskipun bersifat sementara atau pragmatis. Beralihnya konsumen tersebut bisa karena alasan keterbatasan, kesukaan, atau pembatasan-pembatasan seperti PPKM Covid-19 dan sebagainya. Namun perkembangan demikian tidak bisa diabaikan. Kecenderungan ekonomi berbasis online menjadi hal yang sudah pasti, meskipun tidak secara mendadak, namun alur perubahan perekonomian terus menuju ekonomi berbasis online. Maka tantangan bagi usaha UMKM adalah penyesuaian terhadap perubahan tersebut.

Namun dari hasil wawancara dengan Bpk. Zainal, dapat disimpulkan bahwa bagi pengusaha UMKM pasar lokal dan tradisional merupakan tumpuhan dan harapan yang bersifat pasti. Sementara pasar online terkandung tingkat ketidakpastian yang tinggi, cepat berubah dan pangsa pasar yang sulit perkirakan oleh cara-cara tradisional. “melakukan cara online tentu suatu yang berat bagi pengusaha lokal dan kecil yang konvensional”, kata Bapak Zainal, sambil menarik nafas. Lebih lanjut beliau menyampaikan, “Jika masuk pasar online sekarang, maka kecenderungan pasar tradisional terbebani, karena persaingan harga cenderung dimenangkan pasar online, dan pedagang eceran akan dirugikan dengan kondisi demikian”. Sementara untuk kebutuhan jangka menengah dan panjang pasar online akan terus mengurai pasar tradisional dan akan memecah pangsa pasar tersebut, sehingga mau tidak kedepan pasar tradisional akan terkoreksi tingkat penjualannya.

Umumnya cara berfikir pengusaha tradisioal yang sama dengan Bapak Zainal masih sangat kuat, ragu-ragu masuk ke pasar online menjadi hal yang nyata dan merupakan tantangan bagi usaha UMKM ke depan. Maka seperti kasus usaha tiga kunci perlu memperoleh pendampingan dan pengetahuan sehingga secara bertahap dapat menerima pasar online. Literasi tentang pasar online sangat dibutuhkan, baik oleh pemerintah, kelompok UMKM, kelomok penggerak dan unit-unit pendorong pengembangan ekonomi rakyat jelata. Wallahua’lam bisshawab.

Malang, 07-09-2021.

Annisa Sinta Dewi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun