Mohon tunggu...
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Damang Averroes Al-Khawarizmi Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya penulis biasa yang membiasakan diri belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

SYL, Calon Profesor?

30 Januari 2018   18:19 Diperbarui: 30 Januari 2018   18:30 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Rekomendasi Senat Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin untuk penganugerahan guru besar alias profesor bagi Gubernur Sul-Sel, Syahrul Yasin Limpo (SYL) menuai kisruh dan polemik berkepanjangan dari berbagai kalangan. Bahkan seorang guru besar dari Fakultas tekhnik Unhas telah menulis opini disalah satu harian lokal Makassar, tidak sepakat dengan pengusulan "guru besar tidak tetap" tersebut.

Tulisan ini akan mengulas dua isu pokok terkait dengan polemik pengusulan SYL dalam jabatan akademik profesor: Pertama, apakah dari segi kompetensi, SYL layak untuk diusulkan sebagai profesor?; Kedua, apakah dasar hukum pengusulan profesor dari seorang/pribadi yang berstatus sebagai dosen tidak tetap (seperti SYL) di sebuah perguruan tinggi tidak terjadi disharmonisasi dengan ketentuan utamanya?

Syarat Profesor

Pertama-tama saya ingin menekankan terlebih dahulu bahwa dengan dicabutnya Permendikbud Nomor 40 Tahun 2012 melalui Pasal 4 Permendikbud Nomor 88 Tahun 2013, tidak ada lagi istilah guru besar tidak tetap yang dapat diberikan kepada seseorang yang berstatus sebagai dosen tidak tetap.

Permendikbud Nomor 88 Tahun 2013 dengan tegas hanya menyebutkan terminologi profesor. Agar tidak bias saya mengutip ketentuan tersebut yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 1: "Menteri dapat menetapkan dosen tidak tetap pada perguruan tinggi negeri yang memiliki kompetensi luar biasa untuk diangkat dalam "jabatan akademik profesor" berdasarkan usulan dari perguruan tinggi dan rekomendasi dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi."

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang menjadi syarat utama terlebih dahulu agar seseorang dapat diusulkan sebagai profesor, harus berasal dari dosen tidak tetap yang telah ditetapkan oleh perguruan tinggi melalui persetujuan senat. Dalam konteks ini, SYL telah memenuhi syarat utamanya dan sangat layak untuk diusulkan sebagai profesor, sebab sejak tahun 2002 hingga sekarang masih tercatat sebagai dosen tidak tetap pada mata kuliah hukum pemerintahan daerah di S1, S2, dan S3 FH Unhas.

Satu-satunya yang bisa menjadi penghambat sehingga SYL tidak dapat ditetapkan sebagai profesor, adalah pada persyaratan harus memiliki karya yang bersifat pengetahuan tacit yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia. Setumpuk penghargaan yang telah diperoleh oleh SYL, mulai dari penghargaan bintang maha putra, pemberian gelar Doktor Honoris Causa oleh dua perguruan tinggi luar negeri, hingga penghargaan lainnya seperti lurah terbaik, camat terbaik, bupati terbaik, gubernur 2 periode terbaik. Semuanya itu tidak dapat ditempatkan sebagai prasyarat, telah memiliki karya yang bisa dikembangkan menjadi pengetahuan nyata di perguruan tinggi. Mungkin dari 16 buku telah ditulisnya atau ada kemudian ide barunya yang lain bisa bermanfaaat untuk bidang yang ditekuninya selama ini, yaitu hukum pemerintahan daerah, dapat menjadi bahan pertimbangan menteri untuk ditetapkan sebagai profesor.

Disharmonisasi

Terlepas dari layak atau tidak layaknya SYL untuk diusulkan sebagai profesor oleh Universitas Hasanuddin, ada satu hal yang perlu untuk kita perhatikan bersama. Adalah Permendikbud yang menjadi dasar hukum pengusulan dosen tidak tetap sebagai profesor ternyata bertentangan atau tidak harmonis (disharmonisasi) dengan ketentuan utamanya.

Ketentuan utama tersebut, yaitu Pasal 72 ayat 1 UU Pendidikan Tinggi yang menegaskan bahwa: Jenjang jabatan akademik "Dosen tetap" terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Pasal a quo dapat dimaknai bahwa jabatan akademik profesor merupakan jabatan akademik "dosen tetap," bukan dosen tidak tetap. Dalam konteks itu nyatalah kalau Pasal 2 ayat 1 Permendikbud Nomor 88 Tahun 2013 bertentangan dengan UU Pendidikan Tinggi, sebab membolehkan penetapan profesor yang berasal dari "dosen tidak tetap."

Disharmonisasi berbagai ketentuan terkait dengan syarat penetapan profesor yang berasal dari dosen tidak tetap, nyatanya tidak berhenti sampai di situ saja. Hal itu disebabkan oleh Pasal 1 angka 3 UU Guru dan Dosen yang masih kabur, tetap membuka pintu penafsiran bagi dosen tidak tetap untuk ditetapkan sebagai professor, mengingat pasal a quo hanya menyebutkan kalau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang "masih mengajar" di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Artinya, tidak perlu seseorang berstatus sebagai "dosen tetap" untuk ditetapkan sebagai profesor, cukup dosen yang masih mengajar saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun