Mohon tunggu...
Hidayat Syahputra
Hidayat Syahputra Mohon Tunggu... Freelancer - HIDUP ITUI MENJALANI

Sekali Berarti Sudah Itu Mati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siasat Pecundang: Lempar Batu Cuci Tangan

10 Juli 2020   10:58 Diperbarui: 10 Juli 2020   10:51 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cuci tangan (penasantri.id)

Seakan tiada hentinya Indonesia terus bergejolak dan memanas. Tentunya masih segar dalam ingatan kita, akan peristiwa berdarah dalam reaksi penolakan RUU KUHP dan UU KPK yang menelan 5 nyawa putra bangsa.

Kini bara itu kembali menyala. Pemicunya adalah RUU Haluan Ideologi Pancasila yang yang dianggap kontroversial. Penolakan keras dari berbagai elemen bangsa tak terhindarkan. Aksi demontrasi pun digelar di Jakarta dengan diwarnai pembakaran bendara berlambang palu arit dan salah satu Partai Politik tanah air.

Tentu hal ini menjadi persoalan baru dalam merespon suatu masalah. Dan publik dibuat bertanya dari manakah bendera palu arit itu berasal? Siapakah yang membuatnya? Adakah

mungkin bendera tersebut memang telah dipersiapakan oleh peserta aksi. Jika memang benar adanya, bagaimanakah hukum seharusnya bertindak. Apakah dibenarkan memproduksi, menyimpan dan membawa atribut/bendera organisasi atau partai politik terlarang? Jika tidak mengapa aparat yang memiliki kewenangan tidak menindak sebagaimana mestinya.

Selain itu ada hal yang layak juga kita cermati dengan seksama dan hayati dengan hati dan pikiran yang jernih serta dengan melepaskan sentimen pribadi pada golongan tertentu. Bagaimana prilaku tokoh politik, para wakil rakyat di DPR RI. Sungguh kita terus menerus disajikan oleh drama politik murahan. Bermain siasat, mencari keuntungan dalam kekacauan.

Ada benarnya yang dikatakan oleh sastrawan asal Inggris George Orwell bahwa "Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati." Hal inilah yang sedang dilakoni oleh tokoh-tokoh partai politik yang kini mendadak menolak apa yang telah disetujuinya. Penolakan dilakukan setelah mendapatkan penolakan dari berbagai elemen bangsa.

Politik lempar batu cuci tangan, kerap ditampilkan pada nuansa perpolitikan tanah air dewasa ini. Hal ini mungkin saja terjadi dikarenakan anjuran pemerintah untuk selalu cuci tangan agar terhindar dari virus corona.

Namun sepertinya anjuran itu juga terbawa kepada sikap politik para wakil rakyat yang duduk di senayan. Berlagak menjadi wakil rakyat dari partai politik yang bersih tanpa noda.

Prilaku politik seperti itulah yang kini dipraktekkan oleh partai-partai politik tanah air, bahkan ada parpol yang mengklaim bahwa partainya sejak awal menolak RUU HIP untuk diteruskan pada rapat paripurna agar disetujui menjadi RUU Inisiatif DPR.

Padahal berdasarkan Catatan Rapat Badan Legeslasi DPR RI dalam Pengambilan Keputusan Atas Penyususnan Rancangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila memuat bahwa 8 dari 9 fraksi menyatakan setuju atas RUU HIP untuk dilanjutkan sebagai RUU Inisiatif  DPR RI. 

Apa-apa yang terjadi saat ini dan dipertontonkan kepada publik adalah bentuk dari politik munafik para tokoh politik yang diamanahi oleh rakyat untuk mewakili suaranya.

Negara ini sepertinya telah dikuasai oleh politikus-politikus busuk yang menyembunyikan kebusukan dengan parfum wewangian ilusi surga. Dan anehnya masih saja banyak dari kita yang hidungnya hanya mampu mencium pancaran wewangian tanpa mampu mencium bau busuk dari politikus semacam itu. Dan  anehnya hidungnya tersebut hanya mampu mencium kebusukan dari golongan lainya. 

Tentunya sangat baik dan mulia untuk mampu mengatakan apa yang sebenarnya. Bukankah untuk mampu berkata jujur adalah ajaran dari berbagai agama. Dan bukankah kita selalu diajarkan untuk mengatakan kejujuran meski itu pahit.

Rasa jengah kerap hadir melihat prilaku tokoh-tokoh politik yang berhimpun di satu parpol yang memarketingkan partai politiknya sebagai partai politik umat berbasis agama namun tidak mampu mengatakan dengan sebanarnya bahwa partai politiknya juga turut menyatakan setuju atas RUU HIP.

Sulit rasanya mencari dan menemukan negarawan di bangsa Pancasilais ini. Begitu bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur yang terkandung pada pancasila itu sendiri. Kejujuranya tak selantang teriakan takbirnya dan tidak seputih seragam kebesarannya.

Entah mengapa ketika ingin mengakhiri tulisan ini melintas dipikiran lirik lagu slank yang sempat populer pada masanya.

Bang bang tut akar gulang-galing
Siapa yang kentut ditembak raja maling
Musuh dalam selimut sama juga maling
Mulut bau kentut di belakang ngomong miring

Lempar-lempar batu lalu sembunyi tangan
Bikin orang bingung langsung buang badan
Sepandai tupai lompat akhirnya jatuh juga
Lagak jadi sahabat pasti ketahuan belangnya

Bang bang tut akar gulang-galing
Siapa yang kentut ditembak raja maling
Musuh dalam selimut sama juga maling
Mulut bau kentut di belakang ngomong miring

Penulis: Hidayat Syahputra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun