Mohon tunggu...
Raihan Tri Atmojo
Raihan Tri Atmojo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UNS. Saat ini sedang senang terhadap dunia blog dan mencoba menambah wawasan dengan berbagai macam bacaan.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Memang Jodoh, Novel yang Perlu Waktu 50 Tahun untuk Bisa Kita Baca

31 Mei 2023   22:22 Diperbarui: 31 Mei 2023   22:25 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen pribadi

Bagaimana aku dapat bekerja dengan baik untuk bangsa dan negara, kalau aku selalu dibisingkan dengan perkara kawin saja? Sedangkan hatiku rasanya penuh cita-cita untuk memperbaiki yang belum sempurna dan menambah yang masih kurang. -- Hamli

Petikan kalimat di atas merupakan kalimat pembuka yang ada di halaman pertama buku Memang Jodoh karya Marah Rusli. Buku yang pertama kali terbit pada tahun 2013 ini membuka kembali ingatan kolektif masyarakat sastra Indonesia mengenai sosok Bapak Roman Modern Indonesia, yakni Marah Rusli. Yap, karya ini berbeda dengan karya-karya yang pernah dibuat Marah Rusli sebelumnya seperti Sitti Nurbaya, Anak dan Kemenakan, La Hami, dan lain sebagainya.

Apa bedanya? Novel Memang Jodoh ini harus menunggu waktu selama 50 tahun untuk bisa dibaca oleh masyarakat awam. Hal ini dijelaskan oleh Rully Roesli yang merupakan cucu Marah Roesli dalam pengantar novel Memang Jodoh ini. Berdasarkan penjelasan Rully Roesli, novel ini selesai saat ia berusia 12 tahun atau pada tahun 1960-an. Semasa kecil ia sering mengamati kakeknya menulis naskah dengan mesin ketiknya. Lalu mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa harus menunggu 50 tahun terlebih dahulu agar novel ini bisa terbit dan bisa dibaca oleh masyarakat?

Rully Roesli menjelaskan bahwa ini adalah wasiat dari Marah Roesli sendiri. Beliau berwasiat agar buku ini tidak diterbitkan sampai semua tokoh yang terlibat dalam novel Memang Jodoh meninggal dunia. Ia tidak ingin menyinggung tokoh-tokoh yang terlibat dalam novel tersebut, khususnya kepada keluarganya yang ada di Padang. Maka dari itu novel yang aslinya sudah selesai pada tahun 1960-an baru diterbitkan pada tahun 2013.

Novel Memang Jodoh merupakan novel semiautobiografi yang mengisahkan kisah cinta Marah Roesli dengan sang istri Nyai Raden Ratna Kancana. Semua tokoh dalam novel Memang Jodoh adalah nyata adanya yakni sebagai kawan dan karib kerabat Marah Roesli. Namun semua nama tokoh dalam nama dalam novel tersebut diganti dengan nama samaran oleh Marah Roesli. Bahkan dalam novel ini kita bisa menemukan beberapa tokoh besar nasional seperti Tan Malaka yang dalam novel ini bernama Ibrahim, kita juga akan menemukan nama Komandan Slamet Riyadi dibagian akhir novel karena Marah Roesli juga turut bergabung dalam pasukan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dan sempat bertugas di Solo.

Kisah dalam novel ini menceritakan kisah hidup Marah Roesli yang dalam novel dikenal sebagai Marah Hamli dari kecil hingga masa senjanya. Kisahnya bermula saat ia tamat sekolah raja dan kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah dokter hewan di Bogor. Di sanalah ia bertemu jodohnya Nyai Raden Ratna Kancana yang dalam novel disebut Nyai Radin Asmawati. Konflik mulai muncul setelah pernikahan mereka karena adat Padang yang saat itu 'mengharamkan' pernikahan dengan orang dari luar Padang. Pihak keluarga Radin Asmawati juga awalnya tidak setuju karena banyaknya nasib buruk yang diterima gadis Sunda yang menikah dengan pria dari seberang (Sumatra) saat itu. Namun karena memang sudah jodoh, ikatan cinta Hamli dan Radin Asmawati tak mudah putus.

Melalui novel ini Marah Roesli menyampaikan kritik mengenai adat negerinya sendiri yakni adat Padang yang sudah usang, terutama bagi para generasi mudanya. Ia memilih tulisan sebagai media kritiknya agar tidak menyinggung keluarganya di Padang, dengan cara ini ia juga lebih leluasa dalam menyampaikan argumen-argumennya mengenai adat yang kaku dan memberatkan, khususnya bagi generasi muda seperti anjuran poligami, perkawinan paksa, laki-laki yang dinafkahi oleh perempuan, nikah dini, dan lain sebagainya. Aturan-aturan tersebut membuat pemuda Padang lebih memilih untuk tinggal di luar tanahnya sendiri daripada di kampung.

Hal ini menjadi kekhawatiran Marah Roesli. Ia takut lama-lama tak ada lagi pemuda yang mau tinggal di Padang karena adatnya yang kolot dan keras. Maka dari itu ia 'menantang' para tetua secara santun dengan menulis Sitti Nurbaya sebagai bentuk kritiknya. Namun ternyata itu belum cukup untuk mengubah mindset masyarakat Padang. Keluarganya selalu sinis, mengata-ngatai dirinya, bahkan ada yang merencanakan tindak kekerasan untuk melenyapkan nyawa Marah Roesli. Meski begitu ia tetap selamat dan setia bersama dengan istri satu-satunya walaupun akhirnya ia memutuskan untuk menghitamkan negerinya dan memegang teguh prinsipnya sendiri, yakni setia kepada satu istri dan tidak memaksakan kehendak dalam urusan pernikahan orang lain.

Setelah berjalannya waktu kita lihat sekarang adat di tanah Padang tidak seketat satu abad yang lalu, ketika Marah Roesli menulis Sitti Nurbaya. Dari novel Memang Jodoh ini Marah Roesli ingin menunjukkan bahwa untuk merubah suatu masyarakat tidak melulu harus dengan revolusi atau angkat senjata. Terkadang tulisan jauh lebih mengena dan bisa menjadi senjata yang jauh lebih ampuh daripada senapan atau artileri.

Marah Roesli wafat pada tahun 1968 di Bandung dan dimakamkan di Ciomas, Bogor. Meski karyanya saat ini kurang familier khususnya bagi kaum millenial dan Gen Z, tetapi novel-novel Marah Roesli khususnya Memang Jodoh ini masih perlu mendapat atensi dari generasi muda zaman sekarang. Setidaknya kita bisa mengambil nilai semangat dan keteguhan hati Marah Roesli dalam memegang prinsipnya meski harus dibuang dari keluarga dan tanah kelahirannya. Di zaman yang serba instan ini tentu generasi muda rawan dilanda dengan sifat pesimisme karena tidak terbiasa dengan masalah besar yang datang silih berganti. Memang Jodoh bisa menjadi bahan bacaan yang cocok tidak hanya untuk mengetahui masyarakat dan corak karya sastra Indonesia di masa lalu, tetapi juga bisa diambil nilai semangat pantang menyerah dari sosok Marah Hamli.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun