Mohon tunggu...
Hanifatuzzahrah
Hanifatuzzahrah Mohon Tunggu... Freelancer - Universitas Muhammadiyah Malang

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah malang

Selanjutnya

Tutup

Money

Pertanyaan Pemicu Sakit Hati dan Memaafkan di Idul Fitri

9 Mei 2021   15:08 Diperbarui: 10 Juni 2021   18:59 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam sebuah pertemuan tentunya manusia saling bertanya-tanya tentang pencapaian, keadaan, dan bahkan hal-hal yang mayoritas tidak kita senangi, bahkan mereka mempertanyakannya hanya sekedar basa-basi, walaupun menurut kita itu adalah hal yang menyakiti hati. Bagaimana jika pertanyaan itu diutarakan Ketika hari raya idul fitri? Hari yang harusnya suci malah menyakiti hati. Bagaimana dampak sakit hati itu? Dan Bagaimana cara memaafkannya?

Manusia adalah individu atau makhluk yang diciptakan oleh Allah swt, dengan indra,  akal dan hati. Selain indra dan akal yang dimiliki manusia, manusia juga memiliki indra  perasa batin yaitu hati, dimana manusia lebih sensitive terhadap perasaannya. Itulah mengapa manusia mampu merasakan sakit hati.  Dari pandangan psikologis, Sakit hati termasuk sebagian dari sifat seorang manusia yang merasa kehilangan pada sesuatu yang sangat berharga, atau tidak mendapatkan apa yang diinginkan (Cholik, 2015).

Sebagian besar orang sakit hati, mereka menyimpan banyak emosi negatif. Nah, yang dirasakan Ketika menyimpan emosi negatif produktivitas seseorang akan menurun sehingga kurang optimal dalam meraih prestasi karena adanya sesak di dada, seperti sesuatu yang belum dilepaskan. Ketika sakit hati ini terus disimpan maka akan muncul keinginan sesorang untuk balas dendam kepada orang-orang pemicu rasa sakit hati itu. Seseorang juga bisa melakukan “bom waktu”, maksudnya apa yang disimpan seseorang itu bisa diluapkan Ketika benar-benar Lelah menyimpan, dan bisa saja cara meluapkannya bukan dengan cara yang tepat.

“Orang yang sakit hati sering rentan mengalami gangguan Kesehatan fisik dan emosi yang tergolong kronik”(Worthington, Witvliet, Pietrini, & Miller, 2007). Disinilah peran Pemaafan dan Memaafkan, untuk membantu seseorang mencapai tujuan hidup yang lebih baik serta melepaskan emosi negative yang ia punya. “Memaafkan memiliki hubungan yang kuat dengan kesejahteraan mental seseorang, antara lain terhadap perubahan spiritual, pemaknaan dan tujuan hidup, serta meningkatkan rasa berdaya.” (Akhtar, Dolan, & Barlow, 2017)

Untuk saling memaafkan. Idul fitri merupakan hari kemenangan bagi seluruh ummat muslim, dimana setelah mereka menunaikan ibadah puasa dalam satu bulan Ramadhan, mereka akan diberikan hari yang istimewa. Idul Fitri juga merupakan hari yang suci maka dari itu terdapat sebuah tradisi untuk saling memafkan. Memaafkan lebih tepatnya untuk melepaskan emosi negative dan menggantinya dengan menyayangi diri sendiri dan orang lain.

Umumnya di hari idul fitri kita bertemu dengan keluarga, sanak saudara, maupun tetangga. Rentan waktu cukup lama tidak bertemu membuat pertemuan itu terasa canggung jika diam-diam saja. Terkadang kita menerima banyak pertanyaan yang niatnya hanya basa-basi tapi jadi sakit hati. Nah karena kita tau dampak sakit hati pada mental kita, maka sebagai manusia cerdas bukankah lebih baik jika kita memaafkan orang lain.

Memafkan orang lain tentu tidak merugikan diri sendiri “Ketika belum memaafkan, aktivitas otak pada limbic system seperti marah, agresif dan stess. Demikian juga dengan neurotransmiter dan sistem hormonal.” (Nashori, 2011). Setelah kita mampu untuk memaafkan maka akan ada Hormon Bahagia. Hormon Serotonin berfungsi dan bermanfaat dalam mengatur suasana hati, serta bisa mencegah depresi. Memaafkan oranglain dan meminta maaf bisa meningkatkan kualitas dari hormon ini.“Memaafkan adalah upaya untuk bereaksi terhadap kesalahan dimana seseorang mengubah tanggapan negative menjadi netral atau positif” (Thompson, Snyder, Hoffman, Michael, Rasmussen, Billings, & Heinze, et al, 2005)

Dalam Al-Qur’an Allah juga berfirman dalam surah Ali Imran ayat 134, mengungkap bahwa Memaafkan merupakan karakter orang bertaqwa dan Allah menjanjikan ampunan juga balasan berupa Syurga. Selain memaafkan dapat menjaga mental kita, memaafkan juga ternyata karakter orang yang bertaqwa dan dijanjikan syurga. Lalu bagaimana jika kita tidak bisa memaafkan orang lain? Allah pun berfirman dalam surah Annur ayat 22, ayat tersebut membicarakan ampunan Allah, kita diminta untuk mudah memaafkan dan berlapang dada, Allah saja maha pengampun, bagaimana kita seorang hamba tidak bisa saling memaafkan, apakah kita tidak ingin ampunan Allah?.

Hari idul fitri nanti siapkan hati yang suci untuk meminta maaf dan memaafkan orang lain. Tidak ada kerugian Ketika kita memaafkan orang lain, karena dengan memaafkan kita bisa menjaga mental, hati dan otak kita untuk tetap baik-baik saja. Diluar itu kita sendiri yang bisa mengendalikan diri, terhadap perasaan kita ketika menerima stimulus dari orang lain, baik itu yang kita senangi maupun tidak.

Daftar Pustaka :

Sadaf, A., Dolan, A., Barlow, J. 2017. Understanding the relationship between state forgiveness and psychological wellbeing: a qualitative study. Journal of Religion and Health 56 (2): 450–63. https://doi.org/10.1007/s10943-016-0188-9

Cholik, A A. 2015. Relasi akal dan hati menurut Al-ghazali. Kalimah. Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 13 (2): 287. https://doi.org/10.21111/klm.v13i2.290

Nashori, F. 2011. Meningkatkan kualitas hidup dengan pemaafan. Unisia. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial 33(75): 214–26. https://doi.org/10.20885/unisia.vol33.iss75.art1

Thompson, L Y., Snyder, C R., Hoffman, L., Michael, S T., Rasmussen, N H., Billings, L S., Heinze, L., et al. 2005. Dispositionol forgiveness of self, others, and situations. Journal of Personality 73(2): 313–60. https://doi.org/10.1111/j.1467-6494.2005.00311.x

Worthington, E L., Witvliet, C V O.,  Pietrini, P., Miller, A J. 2007. Forgiveness, health, and well-being: a review of evidence for emotional versus decisional forgiveness, dispositional forgivingness, and reduced unforgiveness. Journal of Behavioral Medicine 30(4): 291–302. https://doi.org/10.1007/s10865-007-9105-8

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun