Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Dulu Takut, Sekarang Saya Ketagihan Berutang

2 Agustus 2019   09:01 Diperbarui: 6 Maret 2020   16:46 1741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hutang | Sumber: Freepik

Judul tulisan ini sepertinya boombastis, atau kerap disebut clickbait. Saya tegaskan, inilah yang terjadi pada saya. Percaya atau tidak, saya sendiri kerap geleng-geleng melihat perubahan sikap ini.

Kata "Utang" menjadi momok tersendiri bagi saya. Sudah sejak lama saya meyakini bahwa utang adalah parasit dalam keuangan saya. Ketika sudah berkeluarga, keyakinan itu semakin kuat karena keuangannya tidak lagi bersifat pribadi. Oleh karena itu, mendengar "utang" saja, saya memilih untuk menutup telinga.

Dari sisi eksternal, ada banyak kisah pilu yang dialami orang karena terlilit utang. Bahkan tidak sedikit karena utang, orang bisa melakukan tindak pembunuhan atau malah mengakhiri hidupnya. Cerita utang semakin seram terdengar.

Dalam perjalanan waktu, sikap saya terhadap utang semakin melunak. Pada akhirnya, utang terpaksa menjadi pilihan ketika kebutuhan pokok saya bernilai tinggi. Kebutuhan itu adalah memiliki rumah tinggal sendiri. 

Jika memungkinkan, pasti saya memilih membeli rumah dengan cash keras. Namun sampai kapan saya bisa punya rumah kalau menunggu uangnya cukup.

Di sisi lain, persepsi hutang mulai masuk dari orang-orang sekitar. Ada beberapa saudara yang secara ekonomi sangat mapan, tetapi tidak otomatis memilih transaksi lunas dalam tiap pembelian. Mereka berprinsip, "jika bisa diutang, kenapa harus lunas?!"

Bagi saya ini gila. Sekalipun saya ditunjukkan hitung-hitungan, bagaimana utang bisa lebih baik daripada membeli lunas dengan memasukkan nilai inflasi. Namun tekanan persepsi baru terhadap utang dan desakan kebutuhan, membuat saya perlahan memasukkan utang dalam memori.

Perubahan Sikap

Cukup lama saya berpikir tentang hutang. Baik dan buruknya. Konsekuensi apa yang akan saya terima ketika saya menerima utang. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk tidak lagi alergi terhadap utang. Namun, saya punya catatan khusus yang harus saya pegang.

Catatan pertama dan utama adalah terbuka. Keputusan berutang tidak bisa ujug-ujug atau tiba-tiba. Kalau pengalaman saya, utang dimulai dengan adanya kebutuhan untuk membeli sesuatu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun