Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Rawan Bencana, Inilah Arti Penting Profesi Antropolog Ragawi

23 Desember 2018   13:22 Diperbarui: 23 Desember 2018   14:00 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bernada Rurit (kanan), dalam peluncuran buku

Setelah menjalani peran rutin sebagai Guru Besar dan pengembangan ilmu antropologi di Indonesia, khususnya selama 27 tahun di UNAIR, tahun 2012 Glinka minta pensiun karena keterbatasan fisik.

Sebagai biarawan dan pastor, Glinka taat pada tugas imamat, setia pada kaul ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian. Sementara sebagai ilmuwan, ia melayani orang di sekelilingnya, tidak pelit membagi ilmu, serta selalu ingin membuat orang maju. Ia ilmuwan yang melayani, ia pastor yang berilmu.

Tak kurang, sejak menjadi pengajar selama 19 tahun di Seminari Ledalero sudah 600 pastor merasakan tangan dinginnya. Sementara sejak mengajar 27 tahun di Universitas Airlangga, ia sudah melepas penuh bangga 1.000 antropolog, 14 doktor, dan 1 profesor. (Hal. 14)

Dari sini, sang penulis Rurit meyakini bahwa Glinka tidak memahami misionaris hanya dengan membatis orang, tetapi lebih untuk membangun pendidikan sebuah bangsa. Dari Chorzow ia mendarat di Flores, mendidik para frater yang kelak menggembalakan umat. Dari Flores ke Surabaya, ia mencetak para doktor dan sarjana untuk merintis ilmu antropologi ragawi agar berkembang pesat serta menjadi tuan rumah dalam meneliti warisan bangsa. Tak perlu diragukan lagi, Indonesia pantas merasa bangga telah memilikinya.

Dengan ragam capaian yang begitu banyak dan besar, layakkah kita menilai Glinka tidak nasionalis karena sampai meninggal tetap berbendera putih merah, bendera Polandia? Rurit memberi catatan khusus bagaimana kecintaannya terhadap budaya Indonesia. "Indonesia masakannya enak-enak dan banyak macamnya, saya heran restoran junkfood laku," sembari mengernyitkan dahinya (hal. 25). Selama di Indonesia, Glinka mengaku tidak pernah sekali pun menjajal restoran junkfood. Kemudian dua halaman berikutnya dikisahkan bagaimana dirinya lekat dengan baju batik dan kain sarung.

Kisah Glinka senyatanya mengingatkan kita pada tokoh lain yang juga datang sebagai orang asing dan minoritas, tetapi memiliki rasa cinta yang luar biasa pada Indonesia. Rasa cinta yang ia curahkan dalam misi mengembangkan budaya dan pendidikan Indonesia. Pertama ada (alm) Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, SJ Biarawan dan pastor kelahiran Utrecht, Belanda itu adalah seorang pakar Sastra Jawa dan budayawan Indonesia. 

Kedua ada Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ. Biarawan dan pastor kelahiran 1936 itu sebelum menjadi WNI adalah warga negara Jerman. Saat ini, Franz Magnis telah dikenal sebagai tokoh budaya, filsuf dan cendikiawan sampai mendapat Bintang Mahaputra Utama pada 13 Agustus 2015 oleh Pemerintah RI atas jasa-jasa dia di bidang kebudayaan dan filsafat.

Tentu masih banyak contoh dari tokoh-tokoh lainnya. Yang ingin dihadirkan oleh Glinka dalam buku setebal 504 halaman ini adalah kita harus menyadari bahwa Indonesia adalah negara istimewa yang sangat kaya dari banyak sisi. Mari kita cintai, rawat, dan mengembangkannya dalam berbagai riset penelitian. Salah satu cara yang ia lakukan adalah mencetak sebanyak-banyaknya antropolog ragawi di Indonesia. Karena ia yakin, melalui merekalah Indonesia bisa dijaga, dirawat, dan dikembangkan sampai menjadi negara yang maju dan mandiri.

Usahanya tidak sia-sia. Menjadi salah satu dari tiga begawan antropologi ragawi paling senior sebelum meninggal, Glinka telah berhasil memilih 3 asistennya untuk meneruskan estafet keilmuwan. Mereka adalah Prof. Myrta Artaria, Ph.D.; Dr. Toetik Koesbardiati; Dan Dr. Lucy Dyah Hendrawati. Dengan demikian, saat ini antropologi ragawi Unair telah memiliki 1 profesor dan 2 doktor. Perlahan akan berkembang besar. Apalagi jika gagasan menjadi departemen tersendiri akan membuahkan hasil. Di Indonesia, ilmu antropologi ragawi, satu-satunya hanya ada di Unair, Surabaya. Maka, menjadi tantangan tiga pendekar perempuan Prof Glinka inilah yang menjadi ujung tombak keberlangsungan antropologi ragawi.

Sepenuhnya Pastor, Sepenuhnya Ilmuwan

Membicarakan antropologi ragawi Indonesia memang tidak bisa lepas dari Prof. Dr. Teuku Jacob, Dr. drg. A. Adi Sukadana, dan tentu Prof. Dr. Habil Josef Glinka SVD yang kerap disebut tiga begawan antropologi ragawi. Namun, dari ketiganya, Rurit sebagai penulis tahu betul keistimewaan Glinka dibanding yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun