Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Apa yang Ditawarkan Jepang Juga Ada di Jakarta

30 November 2017   07:22 Diperbarui: 8 Maret 2020   15:35 4369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kanal Otaru di kala senja. Dokpri

Membicarakan Jepang sebagai sebuah negara maju sudah biasa. Menyebut Jepang sebagai negara yang memiliki alam yang indah juga sudah tidak lagi asing. Ada banyak orang Indonesia menuliskan hal itu setelah pulang berkunjung dari sana. Namun bagi saya, yang luar biasa itu adalah bagaimana sebuah negara maju tetapi bisa tetap melestarikan alamnya.

Melihat Jepang adalah melihat sebuah cara baru bagaimana menilai sebuah negara maju. Negara yang maju tidak lagi dilihat sekadar seberapa hebat bangunan fisik yang dibuat, sudah bermain ke industri manufaktur, nilai kursnya tinggi, masyarakatnya makmur, dan lain sebagainya. Kini negara bisa dibilang maju jika kemajuan industrinya diikuti dengan melestarikan alam dan budaya.

Saat saya pergi ke Sapporo bersama isteri dan rombongan kakak, tampak sekali bagaimana industri dapat berjalan beriringan dengan alam dan budaya. Berjalan kaki di Sapporo yang adalah ibu kota Prefektur Hokkaido ini tidak melelahkan. Selain sudah memasuki musim gugur, juga karena ada banyak pohon rindang di sepanjang jalan. Bahkan, kota berpenduduk terbanyak nomor empat di Jepang itu terkenal dengan sebutan "kota taman." Salah satu taman yang kami kunjungi adalah Taman Odori yang berada di pusat kota.

Dokpri
Dokpri
Pemandangan yang tidak biasa, ada begitu banyak burung gagak beterbangan dengan bebasnya. Tidak ada seorang pun yang mencoba mengusir mereka walau bertengger di gedung-gedung karena takut mengotori. Para warga juga tidak merasa terganggu dengan bisingnya suara gagak yang menggema di antara bangunan tinggi.

Pemandangan serupa juga kami temui saat mengunjungi Otaru. Kota yang dulu terkenal sebagai kota pelabuhan itu menjadi habitat bagi burung camar. Para wisatawan tidak merasa terganggu dengan kehadiran burung camar yang terbang melintas kanal, di mana wisatawan bisa menyewa kapal menyusuri sungai. Para burung pun tidak segan untuk bertengger di tiang-tiang lampu. Mereka tampak tidak takut diganggu orang yang tengah menikmati suasana sore, sambil memandang langit yang semakin membiaskan warna jingga.  

Dokpri
Dokpri
Kanal Otaru menjadi salah satu ikon yang bisa dicapai dengan 15 menit jalan kaki dari Stasiun JR Otaru. Pada masanya, kanal ini memungkinkan kapal-kapal berlayar sampai ke tengah kota dan melakukan bongkar-muat. Banyak gudang bergaya retro di sekitar kanal yang masih dipertahankan sampai sekarang. Walau, kanal sudah tidak berfungsi lagi sejak 1980an, tapi wilayah ini menjadi daya tarik banyak wisatawan. Apalagi di musim gugur ini, tanaman yang merambat di bangunan sekitar kanal berubah warna menjadi merah dan kuning. Menciptakan pamandangan indah yang tidak akan terlupakan.

Otaru menunjukkan kepada kita bahwa kota pelabuhan tidak segersang yang ada di banyak di pikiran kita. Ada banyak pohon tumbuh di sini. Burung dan hewan liar lain pun bisa hidup dengan bebas, berdampingan dengan hiruk pikuk aktivitas manusia. Hal senada juga kami rasakan ketika pergi ke Air Terjun Ginga no Taki yang terletak di Sounkyo, Sapporo.

Foto: Cynthia Iskandar
Foto: Cynthia Iskandar
Menuju Air Terjun Ginga no Taki adalah perjalanan darat terpanjang selama di mengunjungi Hakkaido dan Tokyo. Dengan menyewa mobil, kami harus menempuh perjalanan lebih dari 200 km dari hotel yang terletak di sekitar JR Tower, Sapporo.

Pemandangan Air Terjun Ginga no Taki sejujurnya biasa saja. Bahkan ada banyak air terjun di Indonesia yang jauh lebih bagus. Namun Ginga no Taki menjadi tampak istimewa karena mendapat anugerah musim gugur, sehingga pemandangannya menjadi sangat indah. Apalagi bagi kita yang tinggal di daerah tropis.

Kami memang mengejar moment musim gugur di Jepang, khususnya di daerah Sapporo yang katanya terkenal dingin sepanjang tahun. Namun, perjalanan ke Ginga no Taki membuat saya bertanya-tanya, kenapa ada banyak rambu hewan di sepanjang perjalanan. Menurut, sopir yang  mengantar kami, memang masih ada banyak hewan liar yang hidup di hutan, di kanan-kiri jalan raya. Habitat mereka masih terjaga dengan baik, dan tetap menjadi ikon Hokkaido.

Ada rambu Beruang Cokelat Hokkaido, Rusa Sika Hokkaido, Hokkaido Red Fox atau Rubah Merah, dan Ezo Fukuro yakni sub-spesies lokal dari Ural Owl (burung hantu). Hewan-hewan ini tidak sekadar menjadi simbol daerah atau kota, tetapi mereka benar-benar ada dan dijaga kelestariannya. Hokkaido yang terkenal dengan industri pertaniannya, tidak pernah mengusik habitat hewan-hewan ini. Ada batas yang jelas antara lahan pertanian, industri, dan habitat flora serta faunanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun