Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Basilica del Santo Nino: Simbol Katolisitas dan Harapan Warga Filipina

12 Juni 2017   10:34 Diperbarui: 5 Maret 2020   17:31 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Basilica Santo Nino yang ramai dikunjungi peziarah lokal maupun mancanegara

Berpegang dari keberhasilan di Cebu, Magellan langsung menuju Pulau Mactan. Tidak seperti di Cebu, Magellan dan pasukannya mendapat perlawanan dari Lapulapu, penguasa Mactan. Tidak disangka, pasukan Spanyol tidak hanya kalah, Magellan pun tewas pada pertempuran yang terjadi pada 27 April 1521.

Peristiwa ini memiliki dua arti. Pertama, hanya dalam waktu 20 hari kehidupan Magellan di Filipina, katolisitas menancap sampai sekarang. Nilainya tentu bertransformasi, dari Katolik sebagai agama penjajah, kini telah menjadi agama yang diimani penuh oleh sebagai besar penduduk Filipina. Arti kedua, terbunuhnya Magellan menjadikan Lapulapu sebagai pahlawan pertama Filipina, karena dialah pribumi pertama yang menentang kolonialisasi Spanyol. Setidaknya, lebih dari 40 tahun penduduk Filipina merdeka sebelum pada akhirnya pada 27 April 1565 datang Miguel Lopez de Legazpi, penerus Magellan, datang ke Cebu.

Kehadiran Miguel tidak seperti Magellan yang disambut hangat. Rajah Tupas, penerus Rajah Humabon, memilih bermusuhan dengan kehadiran orang Spanyol. Alhasil, terjadilah pertempuran antara keduanya yang dimenangkan oleh Miguel dan pasukannya.

Pasca pertempuran, di daerah Sawang di Cebu, dua prajurit Spanyol yakni Juan De Camus dan Pedro De Alorca menemukan pantung Santo Nino di reruntuhan. Patung ini diyakini sebagai patung milik istri Rajah Humahon yang diberikan oleh Magellan. Dari buku Sejarah Biara Augustinian Santo Nino de Cebu, di tempat diketemukannya patung Santo Nino didirikanlah gereja pertama di Cebu.

Gereja yang mulanya dibangun dari bambu dan kayu bakau pada 1 November 1566 pastor Diego de Herrera itu merupakan paroki tertua di Filipina. Gereja mengalami pembaruan pada 1605-1626 oleh pastor Pedro Torres O.S.A dari Ordo Agustinian. Pada 29 Februari 1735 dibangunlah gereja dengan pondasi batu, sebuah terobosan pada waktu itu. Bangunan gereja terus mengalamai perubahan dan pembaruan, sampai pada akhirnya di tahun 1965 gereja telah selesai seperti saat ini dan oleh Paus Paulus VI gereja diangkat menjadi Basilika tepat pada ulang tahun ke-400 karya misionaris di Filipina. Basiliki memiliki beberapa sebutan, The Minor Basilica of the Holy Child (Inggris), Basilica Minore del Santo Nino (Cebuano), Basilica del Santo Nino (Spanyol), Basilica Menor del Santo Nino (Filipina) atau umum kita kenal sebagai Basilika Santo Nino. Saat itu, Paus Paulus VI mengatakan "(Basilika ini) menjadi simbol kelahiran dan pertumbuhan Kristianitas di Filipina."

Sebuah Kritik
Saya pribadi merasa bahagia bisa menjadi bagian dari sejarah Kristianitas Filipina dengan berkesempatan berdoa di Basilika Santo Nino. Sebuah kesempatan yang saya sendiri tidak pernah membayangkan. Saya pun berkesempatan berziaran ke Magellan's Cross, simbol Kristianitas lainnya di Filipina.

Namun ada sedikit yang menggangu saya saat malam mulai menjemput. Jalanan di area Basilica yang begitu ramai, sesaat menjadi senyap. Aktiitas pedagang pun "hilang" mengikuti pulangnya para wisatawan. Padahal waktu menunjukkan pukul 19.00.

Pemandangan kota berganti dengan banyaknya gelandangan hampir di sepanjang trotoar di sekeliling Basilica. Mereka pun beragam, mulai dari orang dewasa, lansia, sampai anak-anak. Ketika kami melintas, ada 3 orang anak yang langsung menghampiri. Mereka merengek supaya membeli lilin yang mereka bawa. Kami bergeming karena mau pulang. Namun mereka pun gigih. Dari 3 tinggal satu anak yang terus nempel dan terus ngomong dalam bahasa Cebuano dan bahasa isyarat bahwa dia butuh makan dan minta dikasihani sembari memperlihatkan kakinya yang tanpa alas.

Sebenarnya saya sudah lama mendengar adanya kesenjangan ekonomi yang cukup mencolok di Filipina. Gereja Katolik dituntut lebih banyak berperan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan di Filipina. Ternyata apa yang saya dengar tersebut, ternyata masih relevan untuk saat ini. Saya berharap supaya pemimpin agama bersama para pejabat yang tentunya mayoritas Katolik mulai berpikir konkret untuk menghadirkan Yesus secara nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sana.

Saya berharap, jika Paus Paulus VI pernah mengatakan bahwa Basilica Santo Nino sebagai simbol kelahiran dan pertumbuhan Kristianitas di Filipina, semoga ke depan Basilica menjadi simbol kesejahteraan masyarakat Filipina secara keseluruhan.

Tulisan ini juga ada di Blog Pribadi, ONEtimes.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun